CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 01 Desember 2011

IUD POST PLACENTA Solusi berKB efektif!

A.     Latar Belakang
Masalah kematian dan kesakitan ibu di Indonesia masih merupakan masalah besar. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), angka kematian ibu (AKI) di Indonesia telah berhasil diturunkan dari angka 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002/2003 menjadi 270 pada tahun 2004, 262 pada tahun 2005, dan 248 pada tahun 2007. Akan tetapi apabila dilihat dari angka target Millennium Development Goals (MDG’s) 2015 yakni 102 per 100.000 kelahiran hidup, maka AKI saat ini masih belum memenuhi target atau perlu diturunkan lagi. Terlebih bila dibandingkan dengan AKI di negara-negara ASEAN, AKI di Indonesia 3-6 kali lipat jumlahnya. Sedangkan bila dibandingkan dengan AKI di Negara maju, jumlah AKI di Indonesia 50 kali lipatnya. (Depkes RI, 2009 )
1
 
Oleh karena itu upaya penurunan AKI serta peningkatan derajat kesehatan ibu tetap merupakan salah satu prioritas utama dalam penanganan bidang kesehatan. Departemen Kesehatan pada tahun 2000 telah menyusun Rencana Strategis (Renstra) jangka panjang dalam upaya penurunan angka kematian ibu dan kematian bayi baru lahir. Dalam Renstra ini difokuskan pada kegiatan yang dibangun atas dasar sistem kesehatan yang mantap untuk menjamin pelaksanaan intervensi dengan biaya yang efektif berdasarkan bukti ilmiah yang dikenal dengan nama "Making Pregnancy Safer (MPS)". Strategi MPS ini mengacu pada 3 pesan kunci yaitu : 1) Setiap persalinan ditolong oleh tenaga bidan terlatih, 2) Setiap komplikasi obstetrik neonatal mendapat pelayanan yang adekuat, dan 3) Setiap wanita usia subur dapat akses terhadap pencegahan kehamilan serta penanganan aborsi yang tidak aman. (Depkes RI, 2009 )
Salah satu program untuk menurunkan angka kematian ibu dan menekan angka pertumbuhan penduduk yakni melalui program Keluarga Berencana (KB). Program KB memiliki peranan dalam menurunkan resiko kematian ibu melalui pencegahan kehamilan, penundaan usia kehamilan serta menjarangkan kehamilan dengan sasaran utama adalah Pasangan Usia Subur (PUS). Sesuai dengan tuntutan perkembangan program, maka program KB telah berkembang menjadi gerakan Keluarga Berencana Nasional yang mencakup gerakan masyarakat. Gerakan Keluarga Berencana Nasional disiapkan untuk membangun keluarga sejahtera dalam rangka membangun sumber daya manusia yang optimal, dengan ciri semakin meningkatnya peran serta masyarakat dalam memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan pelayanan KB. Salah satu strategi dari pelaksanaan program KB sendiri seperti tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 adalah meningkatnya penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) seperti IUD (Intra Uterine Device), implant (susuk) dan sterilisasi. IUD merupakan salah satu jenis alat kontrasepsi non hormonal dan termasuk alat kontrasepsi jangka panjang yang ideal dalam upaya menjarangkan kehamilan. Keuntungan pemakaian IUD yakni hanya memerlukan satu kali pemasangan untuk jangka waktu yang lama dengan biaya yang relatif murah, aman karena tidak mempunyai pengaruh sistemik yang beredar ke seluruh tubuh, tidak mempengaruhi produksi ASI dan kesuburan cepat kembali setelah IUD dilepas. (BKKBN, 2009 )
Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 2007), bahwa kontrasepsi yang banyak digunakan adalah metode suntik (31,8%), pil (13,2%), AKDR (4,9%), MOW (3%), kondom (1,3%), dan MOP (0,2%). Dapat dilihat bahwa presentase peserta KB MKJP masih tergolong rendah yang berarti pencapaian target program dan kenyataan di lapangan masih berjarak lebar. Bahkan prevalensi peserta AKDR menurun selama 20 tahun terakhir, dari 13 % pada tahun 1991 menjadi 5 % pada tahun 2007. (BPS,2009)
Berbagai Usaha di bidang gerakan KB sebagai salah satu kegiatan pokok pembangunan keluarga sejahtera telah di lakukan baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat sendiri. Salah satunya dengan Mensosialisasikan metode kontrasepsi terkini IUD Post Placenta oleh BKKBN. Metode IUD Post Placenta mempunyai keuntungan tersendiri, selain pemasanganya lebih efektif karena dilakukan setelah plasenta lahir sekaligus mengurangi angka kesakitan Ibu. Pada hasil expert meeting tahun 2009 dikatakan bahwa penggunaan IUD  post placenta dan post abortus perlu terus digalakkan karena sangat efektif, mengingat angka kelahiran rata-rata 4.000.000 per tahun (BKKBN, 2010). 
Data dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tahun 2007 peserta KB baru sebesar 8,75% dan belum sesuai target Nasional. Di kota Yogyakarta sendiri, jumlah akseptor alat kontrasepsi Intrauterine Device (IUD) baru  sebanyak 22,98 % atau 9.565 orang dari jumlah total akseptor sebanyak 31.872 orang. Jumlah yang tergolong rendah dan menduduki peringkat kedua terbawah sebelum kabupaten Bantul (22,77 %) (Profil Dinas Kesehatan DIY, 2010).

 IUD Post Plasenta
IUD post plasenta adalah IUD yang dipasang dalam waktu 10 menit setelah lepasnya plasenta pada persalinan pervaginam (EngenderHealth, 2008).
a)     Cara Kerja
IUD yang dipasang setelah persalinan selanjutnya juga akan berfungsi seperti IUD yang dipasang saat siklus menstruasi. Pada pemasangan IUD post plasenta, umumnya digunakan jenis IUD yang mempunyai lilitan tembaga yang menyebabkan terjadinya perubahan kimia di uterus sehingga sperma tidak dapat membuahi sel telur.
b)     Jenis
      Ada 3 macam IUD yang biasanya digunakan yaitu Copper T 380A, Multiload Copper 375, dan IUD dengan levonorgestrel. IUD jenis Copper T 380A sangat banyak tersedia dan pada program pilihan KB Pascapersalinan, jenis IUD Copper T 380A ini paling banyak digunakan karena selain karakteristiknya yang baik, harga IUD jenis ini juga lebih terjangkau dibanding dengan jenis IUD yang lain. IUD dengan levonorgestrel (misal Mirena) belum terlalu banyak tersedia dan jika tersedia harganya mahal, dan IUD jenis ini biasanya tidak direkomendasikan sebagai IUD post partum (Category 3 in WHO’s medical eligibility criteria, 2010). 

c)     Efektivitas
Efektivitas sangat tinggi. Tiap tahunnya 3-8 wanita mengalami kehamilan dari 1000 wanita yang menggunakan IUD jenis Copper T 380A. Kejadian hamil yang tidak diinginkan pada pasca insersi IUD post plasenta sebanyak 2.0 - 2.8 per 100 akseptor pada 24 bulan setelah pemasangan. Setelah 1 tahun, penelitian menemukan angka kegagalan IUD post plasenta 0.8 %, dibandingkan dengan pemasangan setelahnya. Sesuai dengan kesepakatan WHO, IUD dapat dipakai selama 10 tahun walaupun pada kemasan tercantum efektifitasnya hanya 4 tahun (BKKBN, 2010).

d)     Keuntungan
1)    Langsung bisa diakses oleh ibu yang melahirkan di pelayanan kesehatan
2)    Efektif dan tidak berefek pada produksi menyusui
3)    Aman untuk wanita yang positif menderita HIV
4)    Kesuburan dapat kembali lebih cepat setelah pelepasan
5)    Resiko terjadi infeksi rendah yaitu dari 0,1-1,1 %
6)    Kejadian perforasi rendah yaitu sekitar 1 kejadian perforasi dari jumlah populasi 1150 sampai 3800 wanita
7)    Mudah dilakukan pada wanita dengan epidural
8)    Sedikit kasus perdarahan daripada IUD yang dipasang di waktu menstruasi

e)      Kelemahan
Angka keberhasilannya ditentukan oleh waktu pemasangan, tenaga kesehatan yang memasang, dan teknik pemasangannya. Waktu pemasangan dalam 10 menit setelah keluarnya plasenta memungkinkan angka ekspulsinya lebih kecil ditambah dengan ketersediaan tenaga kesehatan yang terlatih (dokter atau bidan) dan teknik pemasangan sampai ke fundus juga dapat meminimalisir kegagalan pemasangan.

f)      Efek Samping dan Komplikasi
1)    Ekspulsi
Angka kejadian ekspulsi pada IUD sekitar 2-8 per 100 wanita pada tahun pertama setelah pemasangan. Angka kejadian ekspulsi setelah post partum juga tinggi, pada insersi setelah plasenta lepas kejadian ekspulsi lebih rendah daripada pada insersi yang dilakukan setelahnya. Gejala ekspulsi antara lain kram, pengeluaran per vagina,spotting atau perdarahan, dan dispareni.
2)    Kehamilan
Kehamilan yang terjadi setelah pemasangan IUD post plasenta terjadi antara 2.0-2.8 per 100 akseptor pada 24 bulan.  Setelah 1 tahun, studi menyatakan angka kegagalannya 0,8 % dibandingkan dengan pemesangan IUD saat menstruasi.
3)    Infeksi
Prevalensi infeksi cenderung rendah yaitu sekitar 0,1 % sampai 1,1 %.
4)    Perforasi
Perforasi rendah yaitu sekitar 1 kejadian perforasi dari jumlah populasi 1150 sampai 3800 wanita.
g)      Kontraindikasi pemasangan
1)  Ruptur membrane yang lama (lebih dari 24 jam)
2)  Demam atau ada gejala PID
3)  Perdarahan antepartum atau post partum yang berkelanjutan setelah bayi lahir
4)  Gangguan pembekuan darah, misal DIC yang disebabkan oleh pre eklampsi atau eklampsi
5)  Perdarahan pervagina yang belum diketahui sebabnya
6)  Penyakit tropoblas dalam kehamilan (jinak atau ganas)
7)  Abnormal uterus
8)  Adanya dugaan kanker uterus (TBC pelvic)
9)  AIDS Tanpa Terapi Antiretroviral