CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 23 Desember 2013

MANAJEMEN KEBIDANAN PADA NEONATUS DENGAN KERN IKTERUS



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kernikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi.
Pada beberapa bayi baru lahir, hati memproduksi pigmen kuning yang disebut bilirubin yang berlebihan, sehingga mengakibatkan kulit dan sklera mata berubah warna menjadi kuning. Keadaan ini disebut dengan ikterus. Beberapa bayi, keadaan ini bisa hilang sendiri, tetapi pada beberapa bayi lainnya bila tidak ditangani dengan cepat dan benar maka bisa menyebabkan kadar bilirubin menjadi sangat tinggi yang bersifat toksik dan dapat merusak otak.
Bayi baru lahir dengan ikterus yang tidak ditangani secara medis bisa saja mengalami kern ikterus, tetapi bukan berarti setiap bayi kuning akan menghadapi masalah ini. Bila timbul ikterus, dapat diterapi dengan fototerapi, tetapi bila tidak berhasil maka dapat dilakukan transfusi tukar (exchange transfusion).
Beberapa tanda kern ikterus yaitu; kulit bayi yang sangat kuning bahkan oranye, tidur yang berkepanjangan bahkan sulit untuk dibangunkan, menyusui sangat kurang, serta kelemahan umum.
Pada kasus kernikterus ini, pencegahan lebih baik daripada pengobatan, terlebih bila bayi sudah mencapai tingkat kerusakan otak yang hebat sehingga menjadikan prognosis kernikterus buruk.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian ikterus?
1.2.2 Bagaimana patofisiologi ikterus?
1.2.3 Bagaimana cara mendeteksi dini bayi dengan ikterus?
1.2.4 Apa dampak yang ditimbulkan dari ikterus?
1.2.5 Bagaimana penatalaksanaan pada bayi dengan kernikterus?


1.3  Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.3.1  Untuk mengetahui pengertian dan patofisiologi ikterus.
1.3.2  Untuk mendeteksi dini bayi dengan ikterus.
1.3.3  Untuk mengetahui komplikasi yang ditimbulkan dari ikterus.
1.3.4  Untuk mengetahui penatalaksaanan yang diberikan bidan terhadap bayi yang mengalami kernikterus.

1.4  Manfaat
1.4.1  Sebagai bahan tambahan pengetahuan bagi penyusun dan mahasiswa lainnya
1.4.2  Sebagai bahan diskusi dalam tugas mata kuliah
1.4.3  Sebagai tambahan referensi bagi tugas-tugas yang berkaitan dengan makalah ini






 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Ikterus
2.1.1 Definisi Ikterus
Ikterus adalah keadaan transisional  normal yang mempengaruhi hingga 50% bayi aterm yang mengalami peningkatan progresif pada kadar bilirubin tak terkonjugasi dan ikterus pada hari ketiga (Myles, 2009).
Ikterus adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga, tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melampaui batas  kadar yang membahayakan. Tidak mempunyai potensi kern ikterus, tidak menyebabkan morbiditas pada bayi (Saifudin, 2006)
Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/ml dalam 24 jam, yang menandakan terjadinya gangguan fungsional dari liper, sistem biliary, atau sistem hematologi (Muslihatun, 2010)
Kesimpulan dari pengertian ikterus adalah warna kulit dan membran mukosa berwarna kuning karena kadar bilirubin lebih dari 5 mg/ml, yang timbul pada hari kedua dan ketiga, sampai hari kesepuluh dengan tidak ada tanda-tanda patologis.
Menurut Haws (2007) ikterus dibagi menjadi dua, yaitu ikterus fisiologis dan ikterus patologis. Ikterus fisiologis adalah peningkatan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi serum selama minggu pertama kehidupan yang menghilang sendiri. Sedangkan ikterus patologis adalah ikterus yang terjadi sebelum usia 24 jam dan kecepatan peningkatannya > 0,5 mg/dL/jam.
Penentuan derajat ikterus menurut pembagian zona tubuh (Kramer, 1969) adalah:
1.        Kramer I. Apabila warna kuning di daerah kepala (bilirubin total ± 5 – 7 mg%)
2.       
3
 
Kramer II. Apabila warna kuning sampai daerah dada – pusat (bilirubin total ± 7 – 10 mg%)
3.        Kramer III. Apabila warna kuning sampai perut dibawah pusat sampai dengan lutut (bilirubin total ± 10 – 13 mg%)
4.        Kramer IV. Apabila warna kuning sampai lengan sampai dengan pergelangan tangan tungkai bawah sampai dengan pergelangan kaki (bilirubin total ± 13 – 17 mg%)
5.        Kramer V. Apabila warna kuning sampai dengan telapak tangan dan telapak kaki (bilirubin total > 17 mg%)

2.1.2 Etiologi
Ikterus dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Penyebab yang sering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat inkompatibilitas golongan darah ABO atau difisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini juga dapat timbul akibat perarahan tertutup (hematomcepal, perdarahan subaponeurotik) atau inkompatibilitas darah Rh. Infeksi juga memegang peranan penting dalan terjadinya ikterus. Keadaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain adalah hipoksia atau anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia, dan polisitemia.
Metabolisme bilirubin pada bayi neonatus berada dalam bentuk peralihan dari tingkat janin dimana plasenta merupakan jalan utama pembuang bilirubin yang larut dalam lipid, menjadi tingkat dewasa, dimana bentuk terkonjugasi dan larut dalam air dikeluarkan dari sel-sel hati ke dalam sistem empedu untuk selanjutnya ke dalam saluran pencernaan. Setiap factor yang meningkatkan beban bilirubin yang harus dimetabolisme oleh hati (anemia hemolitik, usia sel darah merah yang pendek akibat imaturitas, peningkatan sirkulasi enterohepatik infeksi).
Setiap faktor yang dapat meniadakan atau menurunkan jumlah enzim atau yang mengakibatkan penurunan uptake bilirubin oleh sel-sel hati (cacat genetik dan prematuritas) dapat meningkatkan derajat ikterus.
Pemberian makanan yang dini akan menurunkan, sedangkan dehidrasi akan meningkakan kadar bilirubin serum. Obat-obatan seperti oksitosin dan bahan yang dipergunakan dalam perawatan bayi seperti pembersih fenol dapat pula mengakibatkan ikterus.

2.1.3 Patofisiologi
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar hasil bilirubin berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian besar dari hem bebas atau dari proes eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Bilirubin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubain IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologis seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilin, sehingga bilirubin terikat dengan oleh reseptor membran sel hati dan masuk kedalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligondin (protein-Y), protein-Z, dan glutation hati lain yang membawanya ke retirulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi. Proses ini  timbul berkat adanya enzim gukoromil transferase yang kemudian menghasilakan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang berkonjugasi ini diekskresikan melalui duktus hemotikus kedalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dari tinja sebagai stertobilin. Dalam usus sebagian diabsorsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses enterohepatik..   
Sebagian besar neonatus mengalami peningkatan kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena proses fisiologis tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari), dan belum matangnya fungsi hepar.
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian tersering adalah apabila terjadi pertambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit bayi/janin, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan pengambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan protein Y dan protein Z terikat oleh amnion lain, misalkan pada bayi dengan asidosis atau keadaan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang dapat memperlihatkan peningkatan kadar biliruin adalah apabila ditemukan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoronil transferasi) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis normal neonatus atau sumbatan saluran empedu ekstra/intrhepatik. 
Komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat hiperbilirubinemia adalah terjadinya kernikterus.

2.2  Kernikterus
2.2.1   Definisi Kernikterus
Kernikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya bilirubin indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak.
Kernikterus adalah ikterus berat disertai gumpalan bilirubin pada ganglia basalis, kernikterus biasanya disertai naiknya kadar bilirubin indirek dalam serum. Pada neonatus cukup bulan kadar bilirubin diatas 20 mg/ml sering berkembang menjadi kernikterus, sedangkan pada bayi prematur bila melebihi 18 mg. Heperbilirubinemia dapat menimbulkan ansefalopati dan ini sangat berbahaya bagi bayi. Untuk terjadinya kernikterus tergantung pada pola keadaan umum bayi, bila bayi menderita hipoksia, asidosis, dan hipoglikemia.

2.2.2   Insidensi
Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dL, akan mengalami kernikterus. Insidensi pada otopsi bayi prematur dengan hiperbilirubinemia adalah 2-16 %. Perkiraan frekuensi klinis tidak dapat dipercaya karena luasnya spektrum manifestasi penyakit
Di Amerika Serikat, 8-10 % dari semua bayi sehat tetap dapat terjadi hiperbilirubinemia berat yang selanjutnya mengalami kern ikterus.
Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan meningkatnya kasus kernikterus, yaitu:
-          Para orang tua tidak mengetahui tanda-tanda ikterus sehingga mereka tidak segera menghubungi dokter.
-          Banyaknya bayi baru lahir yang segera meninggalkan Rumah Sakit, padahal kadar bilirubin darah belum mencapai puncaknya (48-72 jam setelah kelahiran), ditambah dengan tidak kontrol kembali dalam jangka waktu satu minggu kemudian.
-          Dokter yang hanya mengandalkan penglihatan dalam menilai derajat kuningnya kulit akibat ikterus yang mana rentan terhadap kesalahan terutama pada kasus yang berat dan tidak adanya informasi kepada para orang tua untuk memperhatikan kualitas kuningnya kulit pada bayi mereka.
-          Beberapa bayi baru lahir pulang dari Rumah Sakit dalam kondisi pemeriksaan kadar bilirubin yang belum selesai.

2.2.3   Klasifikasi
Ø  Stadium 1
Refleks moro jelek, hipotoni, letargi, poor feeding, vomitus, high pitched cry, kejang.
Ø  Stadium 2
Opistotonus, panas, rigiditas, occulogyric crises, mata cenderung deviasi ke atas.
Ø  Stadium 3
Spastisitas menurun, pada usia sekitar 1 minggu.
Ø  Stadium 4
Gejala sisa lanjut; spastisitas, atetosis, tuli parsial/komplit, retardasi mental, paralisis bola mata ke atas, displasia mental.

2.2.4   Etiologi
Penyebab kernikterus adalah dikarenakan kadar bilirubin yang sangat tinggi yang dapat mencapai tingkat toksik sehingga merusak sel-sel otak.
Kadar bilirubin yang tinggi merupakan kelanjutan dari ikterus neonatorum yang disebabkan oleh:
a)      Ikterus fisiologis:
-          Peningkatan jumlah bilirubin yang masuk ke dalam sel hepar.
-          Defek pengambilan bilirubin plasma.
-          Defek konjugasi bilirubin.
-          Ekskresi bilirubin menurun.
b)      Ikterus patologis:
-          Anemia hemolitik: isoimunisasi, defek eritrosit, penyakit hemolitik bawaan, sekunder dari infeksi, dan mikroangiopati.
-          Ekstravasasi darah: hematoma, ptekie, perdarahan paru, otak, retroperitoneal dan sefalhematom.
-          Polisitemia.
-          Sirkulasi enterohepatik berlebihan: obstruksi usus, stenosis pilorus, ileus mekonium, ileus paralitik, dan penyakit hirschprung.
-          Berkurangnya uptake bilirubin oleh hepar: gangguan transportasi bilirubin, obstruksi aliran empedu.

2.2.5   Patogenesis
Patogenesis kernikterus bersifat multi faktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin yang tidak terjonjugasi, ikatan albumin dan kadar bilirubin yang tak terikat/bebas, menembusnya ke sawar darah otak, dan kerentanan neurologik terhadap jejas. Permeabilitas sawar darah otak dapat dipengaruhi oleh penyakit, asfiksia, dan maturasi otak.
Pada setiap bayi, nilai persis kadar bilirubin yang dapat bereaksi indirek atau kadar bilirubin bebas dalam darah yang kalau dilebihi akan bersifat toksik, tidak dapat diramalkan, tetapi kern ikterus jarang terjadi pada bayi cukup bulan yang sehat dan pada bayi tanpa adanya hemolisis, yaitu bila kadar serum berada di bawah 25 mg/dL. Pada bayi yang mendapat ASI, kernikterus dapat terjadi bila kadar bilirubin melebihi 30 mg/dL, meskipun batasannya luas yaitu antara 21-50 mg/dL. Onset terjadi dalam minggu pertama kehidupan, tetapi dapat terjadi terlambat hingga minggu ke-2 bahkan minggu ke-3. Lamanya waktu pemajanan yang diperlukan untuk menimbulkan pengaruh toksik juga belum diketahui. Bayi yang kurang matur lebih rentan terhadap kernikterus.
Resiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum menjadi bertambah dengan adanya faktor-faktor yang mengurangi retensi bilirubin dalam sirkulasi, yaitu hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada albumin karena ikatan kompetitif obat-obatan seperti sulfisoksazol dan moksalaktam, asidosis, kenaikan sekunder asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan, atau hipotermia) atau oleh beberapa faktor yang meningkatkan permeabilitas sawar darah otak atau membran sel saraf terhadap bilirubin, atau kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya seperti asfiksia, prematuritas, hiperosmolalitas, dan infeksi.
Permukaan otak biasanya berwarna kuning pucat. Pada pemotongan, daerah-daerah tertentu secara khas berwarna kuning akibat bilirubin tak terkonjugasi, terutama pada korpus subtalamikus, hipokampus dan daerah olfaktorius yang berdekatan, korpus striata, talamus, globus palidus, putamen, klivus inferior, nukleus serebelum, dan nukleus saraf kranial. Daerah yang tak berfigmen juga dapat cedera. Hilangnya neuron, gliosis reaktif dan atrofi sistem serabut yang terlibat ditemukan pada penyakit yang lebih lanjut. Pola jejas dihubungkan dengan perkembangan sistem enzim oksidatif pada berbagai daerah otak dan bertumpang-tindih dengan yang terdapat pada cedera otak hipoksik. Bukti yang mendukung hipotesis bahwa bilirubin mengganggu penggunaan oksigen oleh jaringan otak, mungkin dengan menimbulkan jejas pada membran sel; jejas hipoksia yang telah terjadi sebelumnya meningkatkan kerentanan sel otak terhadap jejas. Pewarnaan bilirubin yang jelas tanpa hiperbilirubinemia atau perubahan mikroskopik yang spesifik kern ikterus mungkin tidak merupakan kesatuan yang sama.

2.2.6   Kriteria Diagnosis
Secara umum, ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi.
Tanda-tanda dan gejala-gejala kernikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir pada bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur, tetapi hiperbilirubinemia dapat menyebabkan sindroma setiap saat selama masa neonatus. Tanda-tanda awal bisa tidak terlihat jelas dan tidak dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia, pendarahan intrakranial dan penyakit sistemik akut lainnya pada bayi neonatus. Lesu, nafsu makan jelek dan hilangnya refleks Moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim. Selanjutnya, bayi dapat tampak sangat sakit, tidak berdaya disertai refleks tendo yang menjadi negatif dan kegawatan pernapasan. Opistotonus, dengan fontanela yang mencembung, muka dan tungkai berkedut, dan tangisan melengking bernada tinggi dapat menyertai. Pada kasus yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta tangannya menggenggam. Rigaditas jarang terjadi pada stadium lanjut.
Banyak bayi yang kondisinya memburuk ke tanda-tanda neurologis berat ini meninggal; yang bertahan hidup biasanya mengalami cedera berat tetapi agaknya dapat sembuh dan 2-3 bulan kemudian timbul beberapa kelainan. Selanjutnya, pada usia 1 tahun opistotonus, rigiditas otot, gerakan yang tidak teratur dan konvulsi cenderung kambuh. Pada tahun ke-2 opistotonus dan kejang mereda, tetapi gerakan-gerakan yang tidak teratur dan tidak disadari, rigiditas otot atau pada beberapa bayi, hipotonia bertambah secara teratur. Pada umur 3 tahun sering tampak sindrom neurologis yang lengkap terdiri atas koreotetosis dengan spasme otot involunter, tanda-tanda ekstrapira-midal, kejang defisiensi mental, wicara disartrik, kehilangan pendengaran terhadap frekuensi tinggi, strabismus dan gerakan mata ke atas tidak sempurna. Tanda-tanda piramidal, hipotonia, atau ataksia terjadi beberapa bayi. Pada bayi yang terkenanya ringan sindrom ini hanya dapat ditandai melalui inkoordonasi neoromuskular ringan sampai sedang, ketilian parsial, atau “disfungsi otak minimal” yang terjadi sendiri atau bersamaan, masalah ini mungkin tidak tampak sampai anak masuk sekolah






Tabel 1.
Kadar bilirubin serum indirek maksimum yang disarankan pada bayi preterm.
Berat Badan Lahir (gram)
Tidak Ada Komplikasi
(g/dL)
Ada Komplikasi*
(g/dL)
<> 
1000-1250
1251-1499
1500-1999
2000-2500
12-13
12-14
14-16
16-20
20-22
10-12
10-12
12-14
15-17
18-20
*Komplikasi meliputi asfiksia perinatal, asidosis, hipoksia, hipotermia, hipoalbuminemia, meningitis, PIV, hemolisis, hipoglikemia, atau tanda-tanda kern ikterus.

Tabel 2.
Srategi pengobatan terhadap hiperbilirubinemia indirek pada bayi cukup bulan
yang sehat tanpa hemolisis.
Umur
(Jam)
Fototerapi
(g/dL)
Fototerapi & Persiapan Transfusi Tukar*
(g/dL)
Transfusi Tukar Jika Fototerapi Gagal
(g/dL)
<> 
24-48
49-72
> 72
> 2 minggu
**
15-18
18-20
20
***
**
25
30
30
***
**
20
25
25
***
* Jika bilirubin awal yang terpresentasi tinggi, fototerapi yang intensif harus dimulai dan persiapan untuk transfusi tukar dilakukan. Jika fototerapi gagal mengurangi kadar bilirubuin sampai ke kadar yang tercatat pada kolom sebelah kanan, mulailah transfusi tukar.
** Ikterus pada umur 24 jam tidak tampak pada bayi sehat.
*** Ikterus mendadak muncul pada umur 2 minggu atau berlanjut sesudah umur 2 minggu dengan kadar hiperbilirubinemia yang berarti; untuk membenarkan pemberian terapi maka harus diamati secara rinci, karena ikterus ini paling mungkin disebabkan etiologi yang sudah ada seperti atresia biliaris, galaktosemia, hipotyiroidisme, atau hepatitis neonatus.

2.2.7   Diagnosis Banding
Ø  Sepsis
Merupakan sindroma klinis yang ditandai gejala sistemik dan disertai bakteriemia.
Kriteria diagnosis meliputi gejala klinis berupa gangguan keadan umum (tampak tidak sehat, tidak mau minum, suhu badan labil), saluran cerna, pernapasan, kardiovaskuler, Susunan Saraf Pusat, hematologik dan kulit. Dari hasil laboratorium didapatkan anemia, leukopenia, netropenia absolut, trombositopenia, peningkatan Laju Endap Darah dan C- Reactive Protein.
Ø  Asfiksia
Merupakan keadaan yang ditandai oleh gejala-gejala akibat hipoksia yang progresif, akumulasi CO2, dan asidosis.
Ø  Hipoglikemia
Merupakan keadaan yang terdapat pada bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah, mempunyai kadar glukosa darah.
Kriteria diagnosis ditandai dengan atau tanpa gejala; letargi/apati, tremor, apnea, sianosis, kejang, koma, menangis lemah atau high pitched cry, poor feeding.

2.2.8   Pemeriksaan Penunjang
-          Pemeriksaan kadar bilirubin.
Bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan yang masih akan timbul akibat toksisitas kadar bilirubin yang sangat tinggi. Pengukuran bilirubin diindikasikan jika ikterus pada usia kurang dari 24 jam dan ikterus tampaknya signifikan pada pemeriksaan klinis.
-          Pemeriksaan lebih lanjut selain bilirubin serum total yang mungkin dibutuhkan (usia < 3 minggu):
a.       Bilirubin direk
b.      Hitung darah lengkap, hitung retikulosit, dan apusan untuk morfologi darah tepi
c.       Golongan darah dan tes antibodi direk (direct antibody test, DAT atau tes Coombs).
d.      Konsentrasi G6PD (glucose-6-phosphate dehydrogenase)
e.       Albumin serum
f.       Urinalisis untuk mengetahui zat pereduksi galaktosemia
-          Pemeriksaan fungsi otak: EEG
Bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan otak yang telah terjadi.
2.2.9   Pengobatan
1)      Fototerapi
Ikterus klinis dan hiperbilirubinemia indirek akan berkurang kalau bayi dipaparkan pada sinar dalam spectrum cahaya yang mempunyai intensitas tinggi. Bilirubin akan menyerap cahaya secara maksimal dalam batas wilayah warna biru (panjang gelombang 425-475 nm). Bilirubin dalam kulit akan menyerap energy cahaya yang melalui fotoisomerisasi mengubah bilirubin tak terkonjugasi yang bersifat toksik menjadi isomer-isomer tak terkonjugasi yang dikeluarkan ke dalam empedu dan melalui otosensitisasi yang melibatkan oksigen dan mengakibatkan reaksi oksidasi yang menghasilkan produk-produk pemecahan yang akan diekskresi oleh hati dan ginjal tanpa memerlukan konjugasi.
Indikasi fototerapi hanya setelah dipastikan adanya hiperbilirubinemia patologik. Bayi normal, yang mendapat fototerapi selama 1-3 hari akan memperlihatkan puncak konsentrasi bilirubin serum sekitar setengah dari bayi yang tidak mendapatkan pengobatan.
2)      Transfusi Tukar
Jika ada tanda-tanda kernikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi jika ada tanda-tanda kernikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun, maka transfusi tukar darurat harus dilakukan.
Pengobatan yang diterima secara luas ini (transfusi tukar) harus diulangi sesering yang diperlukan untuk mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam serum di bawah kadar yang tercatat pada tabel. Ada berbagai faktor yang dapat mengubah kriteria ini ke arah yang sebaliknya, namun bergantung pada individu penderita. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberi kesan kernikterus merupakan indikasi untuk melakukan transfusi tukar pada kadar bilirubin serum berapapun. Bayi cukup bulan yang sehat dengan ikterus fisiologis atau akibat ASI, dapat mentoleransi kadar bilirubin sedikit lebih tinggi dari 25 mg/dL tanpa tampak sakit, sedangkan bayi prematur yang sakit dapat mengalami ikterus pada kadar bilirubin yang sangat rendah. Kadar yang mendekati perkiraan kritis pada setiap bayi dapat merupakan indikasi untuk transfusi tukar semasa usia 1 atau 2 hari ketika kenaikan yang lebih lanjut diantisipasi, tetapi bukan pada hari ke-4 pada bayi cukup bulan atau pada hari ke-7 pada bayi prematur, ketika penurunan yang terjadi segera bisa diantisipasi saat mekanisme konjugasi hati menjadi lebih efektif.
Teknik transfusi tukar:
 Bayi ditempatkan di meja resusitasi yang dihangatkan, anggota badan pada posisi istirahat.
 Kerjakan melalui vena umbilikalis/vena sefana magna.
 Gunakan darah segar dari donor darah (<>
 Darah yang digunakan yaitu darah citrat atau mengandung heparin.
 Transfusi ganti diberikan biasanya 2 x volume darah bayi (80 ml/kg BB), yaitu 160 ml/kg B (diharapkan dapat menggantikan darah bayi 87 %). Setiap kali menukar/mengambildan memasukkan darah sebesar 10-20 ml (tergantung toleransi bayi.
 Bayi sakit atasi dulu penyakitnya (misalnya: asfiksia dan hipoglikemia)
 Bayi-bayi yang disertai anemia (HT<35 style="">partial exchange dengan PRC (25-80 ml/kg BB) sampai HT naik menjadi 40 %. Bila keadan sudah stabil, lakukan transfusi untuk mengatasi hiperbilirubinemia.
 Jika mungkin albumin miskin garam diberikan 1-2 jam sebelum transfusi ganti sebanyak 1 g/kg BB.
 Pembantu mencatat volume darah yang ditukar, mengobservasi tanda vital bayi dan bisa melakukan resusitasi.
 Sebelum transfusi ganti, ukur tekanan vena.
 Donor darah harus dihangatkan pada suhu 27-37oC.
 Setiap 100 ml darah dikocok.
 Alat steril.
 Darah segar dipasang dengan infus set. Selanjutnya dihubungkan dengan jarum suntik dan kateter v.umbilikalis.
 Minimalisir efek samping dan tiap tahapan berlangsung 3-5 menit.
 Jika kateter gagal dipasang di v. Umbilikalis, bisa dilakukan di v. Safena magna.
 Kateter jangan terbuka terhadap udara.
 Dengan jarum suntik, keluarkan darah bayi 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium pratransfusi; Hb, urea N, elektrolit, kalsium, gula, SGOT,SGPT, osmolaritas, analisa gas darah, dan kultur.
 Masukkan darah segar 20 ml perlahan, dilakukan sampai selesai.
 Untuk darah citrat, setiap 100ml darah ganti diberi 1 ml kalsium glukonas 10%.
 Setelah transfusi selesai, ambil darh bayi untuk pemeriksaan pasca transfusi.
 Bayi harus puasa, bila tanda vital stabil boleh diberi minum.
Transfusi dihentikan bila; emboli, hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia, gangguan pembekuan, dan perforasi pembuluh darah.
Komplikasi transfusi tukar; gangguan vaskular, kelainan jantung, gangguan elektrolit, koagulasi, infeksi, hipotermia, dan hipoglikemia.
3)      Fisioterapi
Untuk bayi yang sudah mengalami cacat akibat kadar bilirubin terlalu tinggi, pengobatan diarahkan pada fisioterapi untuk memperbaiki kekakuan otot dan gerakan serta stimulasi untuk mengoptimalkan fungsi intelek (kognitif). Dengan cara ini diharapkan kemampuan si anak sebisanya mendekati normal.

2.2.10 Prognosis
Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 74 % atau lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80 % yang bertahan hidup menderita koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, ketulian, dan kuadriplegia spastis lazim terjadi. Bayi yang beresiko harus menjalani skrining pendengaran.

2.2.11 Pencegahan
·         Segera menurunkan kadar bilirubin indirek.
·         Penanganan bayi ikterus; fototerapi, fisioterapi, transfusi tukar.
Bayi dengan kadar bilirubin tinggi diobati dengan menggunakan fototerapi, bahkan dengan transfusi tukar. Kini terdapat obat baru yaitu Stanate yang dalam ujicoba terbukti dapat memblokade produksi bilirubin sehingga dapat mencegah kernikterus, hingga sekarang obat ini masih terus dikembangkan.
Tanpa memandang etiologi, tujuan terapi adalah mencegah kadar yang memungkinkan terjadinya neurotoksikosis, dianjurkan agar fototerapi, dan jika tidak berhasil, transfusi tukar dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dalam serum di bawah kadar yang ditunjukkan pada tabel 1 (untuk preterm) dan tabel 2 (untuk bayi cukup bulan). Pada setiap bayi, resiko jejas bilirubin terhadap sistem saraf pusat harus dipertimbangkan dengan resiko yang ditimbulkan oleh pengobatan. Belum ada persetujuan yang umum mengenai kriteria untuk memulai fototerapi. Karena fototerapi mungkin memerlukan 6-12 jam untuk mempunyai pengaruh yang dapat diukur, maka fototerapi ini harus dimulai saat kadar bilirubun masih berada di bawah kadar yang diindikasi untuk transfusi darah. Bila teridentifikasi, penyebab dasar dasar ikterus harus diobati, misalnya antibiotik untuk septikemia. Faktor-faktor fisiologis yag menambah resiko cedera neurologis harus diobati juga (misalnya koreksi terhadap asidosis).
Fototerapi biasanya dimulai pada 50-70 % dari kadar maksimum bilirubin indirek. Jika nilai sangat melebihi kadar ini, jika fototerapi tidak berhasil mengurangi kadar bilirubin maksimum, atau jika ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi jika ada tanda-tanda kern ikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun, maka transfusi tukar darurat harus dilakukan.
·         Melakukan pemeriksaan kadar bilirubin pada semua bayi baru lahir sebelum meninggalkan Rumah Sakit.
·         Kontrol bayi baru lahir ke dokter dalam jangka waktu 24-48 jam setelah meninggalkan Rumah Sakit.
·         Meningkatkan pengetahuan orang tua tentang ikterus.
2.3  Asuhan Kebidanan yang Dilakukan
2.3.1 Rencana Asuhan yang dapat diberikan oleh Bidan
a.    Pemberitahuan kepada keluarga tetang kondisi bayi.
b.    Berikan obat oral yang telah di instruksikan oleh dokter dengan prinsip 5 B, benar obat, benar dosis, benar pasien, benar cara pemberian, benar waktu pemberian.
c.    Jemur bayi tiap pagi di bawah sinar matahari dengan menutup mata dan genital bayi memakai kertas karbon yang dilapisi kain kassa, dan sinar ultraviolet dapat merata keseluruh tubuh.
d.   Berikan ibu penjelasan pentingnya pemberian minum secara adekuat dan berikan ASI  saja dan bantu ibu saat memberi ASI.
e.    Jika bayi dilakukan fototerapi, posisi bayi selalu dirubah untuk mencegah dicubitus dan sinar ultraviolet dapat merata keseluruh tubuh.
f.     Awasi efek samping dari pemberian fototherapi yaitu buang air besar lebih sering dan encer sehingga cegah bayi jangan sampai dehidrasi.
g.    Awasi kemungkinan kulit bayi mengalami perubahan kulit yang berlebihan, laporkan kepada dokter jika hal ini terjadi. (Rukiyah, et.al, 2010: 268)

2.3.2 Penatalaksanaan yang dilakukan oleh Bidan
a.    Ikterus fisiologis
ü  Mengajari ibu cara menyinari bayi dengan cahaya matahari pagi biasanya sekitar jam 7 pagi sampai jam 8 pagi selama 15-30 menit
ü  Lakukan asuhan dasar pada bayi
-          Beri minum bayi sesuai kebutuhan dan kalori yang cukup
-          Perhatikan frekuensi BAB
-          Usahakan agar bayi tidak terlalu kepanasan atau kedinginan
-          Memeliahara kebersihan tempat tidur bayi dan lingkungannya
-          Mencegah terjadinya infeksi
-          Jika bayi dapat menghisap, anjurkan ibu untuk menyusui secara dini dan ASI eklusif lebih sering minimal setiap 2 jam
-          Jika bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI melalui pipa nasogastrik atau dengan gelas dan sendok
-          Jaga bayi agar tetap hangat
-          Ikterus fisisologis tidak memerlukan penanganan khusus dan dapat dirawat jalan dengan nasehat untuk kunjungan ulang setelah tujuh hari. Jika bayi tetap kuning selama 7 hari maka:
§  Lakukan penilaian lengkap
§  Lakukan pemeriksaan ulang untuk ikterus tanyakan apakah kencing sehari semalam atau apakah sering buang air besar
§  Tindakan
Jika setelah 7 hari masih terdapat ikterus yang fisiologis, tindakan yang dilakukan adalah:
o  Apabila disertai kencing 6 kali sehari semalam atau BAB sering ajari ibu cara menyinari bayi dan kunjungan ulang setelah 14 hari
o  Apabila disertai kencing 6 kali sehari semalan dan BAB kurang lakukan penilaian ulang pemberian ASI.
-          Jika kuning menghilang, pujilah ibu.

b.    Ikterus patologis
ü  Cegah agar gula darah tidak turun
ü  Jika bayi masih bisa menetek mintalah pada ibu untuk menetekkan bayinya
ü  Jika bayi tidak bisa menetek lagi tapi masih bisa menelan, beri perasan ASI atau susu pengganti, jika keduanya tidak memungkinkan beri air gula 30-50 cc sebelum dirujuk
ü  Cara membuat air gula. Larutkan 4 sendok teh gula kedalam gelas yang berisi 200 cc air masak
ü  Jika bayi tidak bisa menelan berikan 50 cc air susu atau air gula melalui pipa nasogastrik, jika tidak rujuk segera
ü  Nasehati ibu agar menjaga bayi tetap hangat
ü  Sertakan contoh darah ibu jika kuning terjadi pada 2 hari pertama kehidupan
ü  Rujuk segera.
ü  Setiap ikterik yang muncul pada 24 jam pertama adalah patologis dan membutuhkan pemeriksaan laboratorium lanjut
ü  Pada bayi dengan ikterus kramer grade 3 atau lebih perlu dirujuk
ü  Perhatikan frekuensi BAK dan BAB
ü  Beri terapi sinar untuk bayi yang dirawat di RS dan jemur bayi dibawah sinar matahari pagi pada jam 7-8 selama 30 menit (15 menit telentang dan 15 menit telungkup)
ü  Cegah kontak dengan keluarga yang sakit dan cegah terjadiny infeksi

2.3.3 Langkah Promotif dan Preventif
-          Menghindari penggunaan obat-obatan pada ibu hamil yang berakibat menimbulkan ikterus (sulfa, antimalaria, nitrofurantio, aspirin, novobiosin oksitosin)
-          Penanganan keadaan yang berakibat BBLR
-          Penanganan infeksi maternal, KPD secara tepat dan cepat
-          Penanganan asfiksia dan trauma persalinan dengan tepat
-          Pemenuhan kebutuhan nutrisi bayi baru lahir dengan ASI eksklusif
-          Menjelaskan pada ibu tentang gejala-gejala ikterus yang muncul
Upaya promotif, preventif dan penataklaksanaan yang dilakukan bidan sangat penting untuk mendeteksi dini terjadinya hiperbilirubinemia dan mencegah agar tidak terjadinya kernikterus apabila bayi mengalami hiperbilirubinemia.




 
BAB III
TINJAUAN KASUS

Tanggal          : 29 November 2013 pukul 08.30
Tempat           : Puskesmas X

Data Subjektif
A.      Identitas
Nama bayi       : Bayi Ny.L
Umur Bayi      : 7 hari
Tgl/jam lahir    22 November 2013  pkl 14.30 WIB
Jenis Kelamin  : Laki-laki

Nama Ibu        : Ny. L                                     Nama Ayah     : Tn. A
Umur               : 27 tahun                                Umur               : 26 tahun
Agama             : Islam                                     Agama             : Islam
Pendidikan      : SMP                                      Pendidikan      : SMA
Pekerjaan         : Ibu Rumah Tangga               Pekerjaan         : Buruh

B.       Anamnesa
1.      Keluhan utama:
Ibu datang ke puskesmas pada tanggal 29 November 2013 pukul 08.30 WIB. Ibu mengaku bayinya kuning sejak 4 hari yang lalu (tanggal 25 November 2013), lemah, tidak mau menetek, kejang dan muntah 1 kali pagi ini.
2.      Riwayat kehamilan (prenatal):
Ibu mengatakan bahwa ini adalah anak yang pertama dari kehamilannya yang pertama. HPHT tanggal 3 Maret 2013. TP tanggal 10 Desember 2013. Tidak ada riwayat penyakit dalam kehamilan. Pada waktu hamil, ibu biasa makan 3x sehari, porsi sedang, menunya adalah nasi, tahu, tempe, ikan, dan sayur, minum 6 – 8 gelas per hari (air putih dan teh), tidak pernah merokok, dan tidak pernah minum jamu-jamuan.
3.      Riwayat persalinan sekarang (intranatal):
Dari pengakuan ibu, ibu melahirkan tanggal 22 November pukul 14.30 WIB, dengan persalinan spontan pervaginam di praktik bidan di tolong oleh bidan. Keadaan bayi baru lahir bayi langsung menangis, BB 2800 gram, PB 47 cm, jenis kelamin laki-laki.
4.      Kebiasaan saat nifas:
20
 
Pada saat nifas, ibu makan 3x sehari, porsi sedang, menunya adalah nasi, ikan, tahu, tempe, telor, dan sayur, minum 6 - 8 gelas per hari air putih, tidak pernah merokok, dan ibu minum jamu 1 gelas per hari sejak hari ketiga nifas (sari rapet dan kunyit asam).
5.      Riwayat menyusui: bayi sulit untuk menyusu, ASI kurang lancar.

Data Objektif
Keadaan umum           Lemah
Kesadaran                   :  Compos mentis
Tanda-tanda vital        : Suhu : 37oC,  Pernafasan : 48x / menit , 
  Nadi : 125 x / menit 
Berat badan lahir         :   2800 gram
Berat badan sekarang  :   3000 gram
Pemeriksaan fisik secara klinis :
1.        Kepala : UUK datar, tidak ada moulase, tidak ada Caput Suksadaneum
·      Muka   :  simetris, warna kuning
·      Mata    : simetris, sklera kuning, konjungtiva agak pucat, tidak ada strabismus.
·      Hidung            :  ada septum, tidak ada polip
·      Mulut   : simetris, tidak ada labioschizis, tidak ada palatoschizis, tidak ada labiopalatoscizis, tidak ada sianosis
·      Leher   : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid, warna kulit leher kuning.
2.        Dada        : simetris, puting susu simetris, tidak ada retraksi dada.
3.        Tali Pusat dan  Abdomen : tali pusat sudah puput dan bersih
4.        Punggung :  tidak ada spina bifida, dan terlihat kuning.
5.        Genital     : testis sudah masuk kedalam skrotum, ada lubang penis terletak di sentralis.
6.        Anus         :  terdapat lubang anus.
7.        Ekstremitas :
a.    bagian atas       : simetris, jumlah jari tangan lengkap, pada tangan dan jari tidak ada sianosis, kuku dan lengan berwarna kuning.
b.    bagian bawah  : simetris, jumlah jari kaki lengkap, pada kaki tidak ada sianosis, kuku dan kaki berwarna kuning.
8.        Warna kulit          : tidak ada bercak dan tanda lahir, warna kulit keseluruhan kuning ( Derajat kramer 5)
9.        Reflex:
Tidak ada refleks moro, tidak ada rooting refleks, tidak ada reflex, tidak ada palmar graps, tidak ada refleks tonickneck.
10.    Eliminasi :
BAK                         :   Frekuensi : 4 - 6 x per hari, warna kuning kecokelatan 
BAB                         : Frekuensi : 1 x per hari, warna putih keabu-abuan,  konsistensi lunak.
11.    Data Penunjang    : Saat ini belum dilakukan
Gol. Darah ibu     : O/+ diketahui pada saat kehamilan

Analisa
Neonatus Cukup Bulan Sesuai Masa Kehamilan usia 7 hari dengan suspect kernikterus.

Penatalaksanaan
1)       Menyampaikan pada ibu dan suami tentang hasil pemeriksaan bahwa bayinya diduga mengalami ikterus patologis.
Ibu dan suami mengerti dengan penjelasan yang diberikan

2)       Memberikan dukungan emosional kepada ibu dan suami agar tetap tenang.
Ibu dan suami terlihat lebih tenang.
3)       Memberitahukan Ibu dan Suami bahwa bayinya harus dirujuk ke rumah sakit untuk mendapat pemeriksaan yang lebih lengkap dan optimal.
Ibu dan suaminya menyetujui bayi dirujuk dan memilih di rujuk ke RSUD Dr. Soetomo.
4)       Membuat surat rujukan dan merujuk bayi ke RSUD Dr. Soetomo didampingi oleh orangtua bayi tersebut.
Surat Rujukan sudah dibuat dan bayi sudah dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo.
5)       Mendokumentasikan tindakan.
Tindakan sudah terdokumentasi dengan lengkap dan rapi.




BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ikterus adalah warna kulit dan membran mukosa berwarna kuning karena kadar bilirubin lebih dari 5 mg/ml, yang timbul pada hari kedua dan ketiga, sampai hari kesepuluh dengan tidak ada tanda-tanda patologis. Komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat hiperbilirubinemia adalah terjadinya kernikterus.
Kernikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang diakibatkan oleh tingginya kadar bulirubin sehingga bersifat toksik terhadap otak, ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi.
Kernikterus timbul terutama pada bayi-bayi ikterus yang tidak ditangani dengan baik. Penanganan ikterus harus mengikutsertakan semua aspek secara menyeluruh, mulai dari peran orang tua, tenaga medis, maupun sarana kesehatan dalam rangka mencegah timbulnya kernikterus serta rehabilitasi pasca kernikterus.

3.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan:
1)        Bagi ibu yang bayinya terkena ikterus agar tetap dapat memberikan ASI dan minuman yang cukup untuk bayi sehingga dapat menurunkan kadar ikterus dan membantu mempercepat penyembuhan
2)        Diharapkan bagi Bidan jika menemukan kasus ikterus neonatorum untuk dapat melakukan pemeriksaan secara seksama dan mampu mengidentifikasi dan memberiakan pertolongan pertama pada bayi ikterik dan merujuk kasus tersebut ke tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.



Text Box: 25
DAFTAR PUSTAKA

____. 2010. Kern Icterus. (http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/kern-icterus.html, diakses tanggal 26 November 2013)

_____. 2012. Manajemen Asuhan Kebidananan pada Bayi Baru Lahir pada Bayi Ny. “D” di Instalasi Rawat Inap Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang. (http://kumpulanaskeb.com/kti/manajemen-asuhan-kebidanan-pada-bayi-baru-lahir-pada-bayi-ny-d-dengan-ikterik-grade-iv-selanjutnya-klik-disini-beri-beri-com-askeb-bblr-dengan-ikterik-grade-iv-dapatkan-kti-skri-76406/, diakses tanggal 26 November 2013)

Behrman, et al. 2003. Nelson Textbook of Pediatrics 17th Edition. Pennsylvania: Saunders

Delyana. 2013. Asuhan Kebidanan pada Bayi Baru Lahir Mengalami Ikterus di Kamar Bayi RSU Anutapura Palu. (http://delyanakumaat8.blogspot.com/2013/02/proposal-konsultasi-pertama-asuhan.html, diakses tanggal 26 November 2013)

Haws, Paulette S. 2007. Asuhan Neonatus Rujukan Cepat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Herry, Garna dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi Kedua. Bandung: Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS.
Lissauer dan Fanaroff. 2009. At a Glance Neonatologi. Jakarta: Penerbit Erlangga

Ningsih, Sri. 2012. Pengertian Ikterus. (http://semirang.blogspot.com/2012/10/pengertian-ikterus.html, diakses tanggal 26 November 2013)

Sukadi, Abdurachman dkk. 2002. Ikterus Neonatorum Perinatologi. Bandung: Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS.

Varney, Helen. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar