BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Pendahuluan
Kejang dan
spasme merupakan keadaan emergensi atau tanda bahaya yang sering terjadi pada
BBL, karena kejang dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup berbahaya bagi
kelangsungan hidup bayi atau dapat mengakibatkan sekuele dikemudian hari.
Disamping itu kejang dapat merupakan tanda atau masalah dari satu masalah atau
lebih. Sekitar 70-80% BBL secara klinis tidak tampak kejang, namun secara
elektrografik masih mengalami kejang. Karena sulitnya mengenal bangkitan kejang
pada BBL, angka kejadian sesungguhnya tidak diketahui. Meskipun demikian angka
kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0.8-1.2 setiap 1000 BBL pertahun,
sedang pada kepustakaan lain menyebutkan 1-5% bayi pada bulan pertama mengalami
kejang. Insidensi meningkat pada bayi kurang bulan sebesar 57.5-132 dibanding
bayi cukup bulan sebesar 0.7-2.7 setiap 1000 kelahiran hidup. Pada kepustakaan
lain menyebutkan bahwa insidensi 20% pada bayi kurang bulan dan 1.4% pada bayi
cukup bulan.
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1
Apa definisi
dari kejang pada BBL?
1.2.2
Apa saja jenis-jenis
kejang yang sering terjadi pada BBL?
1.2.3
Apa saja masalah
yang timbul oleh kejang pada BBL?
1.2.4
Apa etiologi
kejang pada BBL?
1.2.5
Bagaimana
patofisiologi kejang pada BBL?
1.2.6
Bagaimana manifestasi
klinik kejang pada BBL?
1.2.7
Bagaimana
diagnosis kejang pada BBL?
1.2.8
Bagaimana
diagnosis banding kejang pada BBL?
1.2.9
Bagaimana
penatalaksanaan kejang pada BBL?
1.3
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini
adalah:
1.3.1
Untuk mengetahui
definisi kejang pada BBL
1.3.2
Untuk mengetahui
jenis-jenis kejang yang terjadi pada BBL.
1.3.3
Untuk mengetahui
masalah yang dapat timbul oleh kejang pada BBL
1.3.4
Untuk mengetahui
etiologi kejang pada BBL
1.3.5
Untuk mengetahui
patofisiologi kejang pada BBL
1.3.6
Untuk mengetahui
manifestasi klinik kejang pada BBL
1.3.7
Untuk mengetahui
diagnosis kejang pada BBL
1.3.8
Untuk mengetahui
diagnosis banding kejang pada BBL
1.3.9
Untuk mengetahui
penatalaksanaan kejang pada BBL
1.4
Manfaat
Penulisan
1.4.1
Bagi Penulis
Penulis
mampu memahami kejang pada BBL serta penatalaksanaanya sehingga dapat menambah
wawasan yang dapat bermanfaat dalam melaksanakan pelayanan kebidanan kelak.
1.4.2
Bagi Pembaca
Diharapkan
dengan adanya makalah ini dapat menjadi sumber referensi yang dapat digunakan
sebagai penunjang kegiatan perkuliahan serta sebagai bekal pengetahuan yang
bermanfaat dalam melaksanakan pelayanan kebidanan dikemudian hari.
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
2.1
Definisi kejang pada BBL
Kejang pada BBL secara
klinis adalah perubahan proksimal dari fungsi neurologik (misalnya perilaku,
sensorik, motorik, dan fungsi autonom sistem syaraf yang terjadi pada bayi
berumur sampai dengan 28 hari. (Kosim, Soleh:2008)
Kejang dapat timbul
sebagai gerakan involunter klonik atau tonik pada satu atau lebih anggota
gerak. (Lissauer,Tom:2006)
Kejang
adalah suatu kondisi dimana otot tubuh berkontraksi dan berelaksasi secara
cepat dan berulang, oleh karena abnormalitas sementara dari aktivitas elektrik
di otak, yaitu terjadi loncatan – loncatan listrik karena bersinggungannya ion
(+) dan ion (-) di dalam sel otak.
Kejang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan
tungkai. Kejang yang terjadi pada bayi baru lahir adalah kejang yang terjadi pada bayi baru lahir sampai dengan usia 28
hari. Kejang pada
BBL merupakan keadaan darurat karena kejang merupakan suatu tanda adanya
penyakit sistem saraf pusat (SSP), kelainan metabolik atau penyakit lain.
Kejang pada bayi baru lahir sering tidak dikenali karena berbeda dengan kejang
pada anak dan dewasa. Hal ini disebabkan karena ketidakmatangan organisasi
korteks pada bayi baru lahir. Kejang umum tonik – klonik jarang pada bayi baru
lahir. Pada prinsipnya, setiap gerakan yang tidak biasa apabila berlangsung
berulang-ulang dan periodik,harus dipikirkan manifestasi kejang. Kejang yang
berulang menyebabkan berkurangnya oksigenisasi, ventilasi dan nutrisi otak.
Semua jenis
infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat
menimbulkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam
antara lain: infeksi saluran pernapasan atas, otitis media akut, pnemonia,
gastroenteritis akut, exantema subitum, bronchitis, dan infeksi saluran
kemih.
2.2
Klasifikasi Kejang
Bentuk tugas
dari tiap-tiap orang dapat berbeda, tergantung jenis penyakit yang mendasari
dan berat ringan penyakitnya.
2.2.1 Berdasarkan lokasi
kejang
Kejang motorik dapat berupa kejang fokal atau
umum. Kejang fokal dicirikan oleh gejala motorik atau sensorik dan termasuk
gerakan yang kuat dari kepala dan mata ke salah satu sisi, pergerakan klonik
unilateral yang diawali dari muka atau ekstremitas, atau gangguan sensorik
seperti parestesi (kesemutan) atau nyeri lokal pada suatu area. Sedangkan pada
kejang umum, bisa menyuluruh pada organ tubuh, dapat berlangsung bertahap
maupun bersamaan. Terkadang kejang ini tak dapat dideteksi atau tersamar, yaitu
mmiliki ciri – ciri:
1.
Hampir tidak terlihat
2.
Menggambarkan perubahan tingkah laku
3.
Bentuk kejang :
a.
Otot muka, mulut, lidah menunjukan
gerakan menyeringai
b.
Gerakan terkejut-kejut pada mulut
dan pipi secara tiba-tiba menghisap, mengunyah, menelan, menguap
c.
Gerakan bola mata ; deviasi bola
mata secara horisontal, kelopak mata berkedip-kedip, gerakan cepat dari bola
mata
d.
Gerakan pada ekstremitas :
pergerakan seperti berenang, mangayuh pada anggota gerak atas dan bawah
e.
Pernafasan apnea, BBLR hiperpnea
f.
Untuk memastikan : pemeriksaan EEG
2.2.2 Berdasarkan serangan pada otot
1. Kejang klonik, terdapat kontraksi otot secara ritmik. Ciri – ciri yang
dapat diperhatikan adalah:
a.
Berlangsung selama 1-3 detik, terlokalisasi
dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran
b.
Dapat disebabkan trauma fokal
c.
BBL dengan kejang klonik fokal perlu
pemeriksaan USG, pemeriksaan kepala untuk mengetahui adanya perdarahan otak,
kemungkinan infark serebri
d.
Kejang klonik multifokal sering
terjadi pada BBL, terutama bayi cukup bulan dengan BB>2500 gram
e.
Bentuk kejang : gerakan klonik pada
satu atau lebih anggota gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara
teratur, misal kejang klonik lengan kiri diikuti kejang klonik tungkai bawah
kanan
2. Kejang tonik, dicirikan oleh
peningkatan tonus arau kekakuan. Dapat terjadi pada:
a.
Terdapat pada BBLR, masa kehamilan
kurang dari 34 minggu dan pada bayi dengan komplikasi perinatal berat
b.
Bentuk kejang : berupa pergerakan
tonik satu ekstremitas, pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan
tungkai, menyerupai sikap deserebasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan
bawah dengan bentuk dekortikasi
3.
Kejang tonik – klonik, merupakan
kumpulan gejala kejang tonik dan klonik.
4.
Kejang mioklonik, ditandai dengan
kontraksi otot seperti adanya kejutan. Gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau
keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat, gerakan menyerupai
refleks moro.
5.
Kejang atonik, dicirikan oleh
kelumpuhan atau kurangnya gerakan selama kejang.
2.2.3 Berdasarkan sisi otak yang terkena
1.
Lobus frontalis memiliki gejala
kedutan pada otot tertentu
2.
Lobus oksipitalis memiliki gejala
halusinasi kilauan cahaya
3.
Lobus parietalis memiliki gejala
mati rasa atau kesemutan pada bagian tubuh tertentu
4.
Lobus temporalis dengan gejala
halusinasi gambaran dan perilaku repetitif yang kompleks misalnya berjalan
berputar – putar
5.
Lobus temporalis anterior memiliki
gejala gerakan mengunyah, gerakan bibir mecucu
6.
Lobus temporalis anterior sebelah
dalam memiliki gejala halusinasi bau, baik yang menyenangkan maupun yang tidak
menyenangkan
2.2.4
Berdasarkan demam sebagai gejala penyerta
1.
Kejang dengan demam, meliputi Kejang
Demam dan non-Kejang Demam
a.
Kejang demam terbagi menjadi Kejang
Demam Sederhana (KDS) dan Kejang Demam Kompleks (KDK)
·
KDS (simple febrile seizures)
Adalah bila kejang berlangsung kurang dari 15 menit
dan tidak berulang pada hari yang sama. Tidak menyebabkan kelumpuhan, meninggal
ataupun mengganggu kecerdasan. Resiko untuk menjadi epilepsi dikemudian hari
juga sangat kecil (2 – 3%). Resiko terbanyak adalah berulangnya kejang demam,
yang dapat terjadi pada 30 – 50% anak – anak.
·
KDK (complex febile seizures atau complex
partial seiuzures)
Adalah bila kejang hanya terjadi pada satu sisi tubuh,
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) atau berulang dua kali atau lebih dalam
satu hari. Resiko untuk menjadi epilepsi dikemudian hari dan resiko berulangnya
kejang demam lebih tinggi dari KDS. Untuk anak yang mengalami kelainan saraf
yang nyata, dokter akan mempertimbangkan untuk memberikan pengobatan dengan
anti kejang selama 1 – 3 tahun.
b.
Bukan kejang demam (non-KD), yang
diantaranya disebabkan oleh: infeksi intrakranial meningitis/ensefalitis,
gangguan elektrolit berat akibat dehidrasi, serangan epilepsi yang disertai
demam, dan penyakit dengan demam dan gerakan mirip kejang.
2.
Kejang tanpa demam dapat terjadi
pada beberapa penyakit diantaranya: epilepsi (tanpa demam dan berulang),
hipo/hiperglikemi, gangguan elektrolit tanpa demam, keracunan, trauma, dan hipoksia.
2.3
Masalah
yang Ditimbulkan
1. Kejang
pada BBL sering berhubungan dengan penyakit yang berat dan memerlukan
penanganan yang lebih spesifik.
2. Kejang
pada BBL sering memerlukan intervensi khusus seperti pemberian bantuan nutrisi
dan respirasi yang berhubungan dengan penyakit yang bersangkutan.
3. Harus
berhat-hati karena pada keadaan tertentu, kejang pada BBL dapat mengakibatkan
kelainan pada otak.
4. Kejang
yang terjadi terus menerus menyebabkan hipoksia serebral progresif, perubahan
aliran darah otak, edema cerebral dan asidosis laktat. Perubahan tersebut
tampak pada pemeriksaan USG Dopler dan spektroskopi resonansi magnetik.
2.4 Etiologi kejang pada BBL
Beberapa penyebab kejang pada bayi baru lahir,
diantaranya :
1.
Komplikasi perinatal dapat berupa :
hipoksi-iskemik ensefalopati; biasanya kejang timbul pada 24 jam pertama
kelahiran, perdarahan intrakranial, dan trauma susunan saraf pusat yang dapat
terjadi pada persalinan presentasi bokong, ekstrasi cunam atau ekstrasi vakum
berat
2.
Kejang bayi dengan asfiksia disertai
kelainan metabolisme seperti: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesemia,
hiponatremia, dan hipernatremia. Hiperbilirubinemia, ketergantungan piridoksin,
dan kelainan metabolisme asam amino. Kejang dengan penyebab ini dapat terjadi
24-48 jam pertama.
3.
Kejang yang terjadi pada hari ke-7
hingga hari ke-10, dapat disebabkan adanya infesi dari bakteri dan virus
seperti TORCH dan Tetanus Neonatorum.
2.5
Patofisiologi kejang pada BBL
Dalam Buku Ajar Neonatologi, mekanisme dasar terjadinya
kejang akibat loncatan muatan listrik yang berlebihan dan sinkron pada otak
atau depolarisasi otak yang mengakibatkan gerakan yang berulang. Terjadinya
depolarisasi pada syaraf akibat masuknya natrium dan repolarisasi terjadi
karena keluarnya kalium melalui membrane sel. Untuk mempertahankan potensial
membrane memerlukan energi yang berasal dari ATP dan tergantung pada mekanisme
pompa yaitu keluarnya Natrium dan masuknya Kalium.
Dalam keadaan norma, membran sel
neuron dapat dilalui oleh ion K, ion Na, dan elektrolit seperti Cl. Konsentrasi
K+ dalam sel neuron lebih tinggi daripada di luar sel, sedangkan
konsentrasi Na+ di dalam sel lebih rendah daripada di luar sel.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka
terdapat perbedaan potensial membran.
Pada keadaan
demam, kenaikan suhu 1 derajat celcius akan menyebabkan metabolisme basal
meningkat 10 – 15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Jadi pada kenaikan suhu
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun natrium melalui membran, dengan
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini sedemikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel lainnya
dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga terjadi kejang.
2.6
Manifestasi klinik kejang pada BBL
1.
Tremor/gemetar
2.
Hiperaktif
3.
Kejang-kejang
4.
Tiba-tiba menangis melengking
5.
Tonus otot hilang diserati atau tidak
dengan hilangnya kesadaran
6.
Pergerakan tidak terkendali
7.
Nistagmus atau mata mengedip ngedip
paroksismal
2.7
Diagnosis
Penilaian
untk membuat diagnosis antara lain dilakukan dengan urutan sebagai berikut :
1.
Anamnesis yang teliti tentang
keluarga, riwayat kehamilan, riwayat persalinan dan kelahiran.
a.
Riwayat
kehamilan
·
Bayi kecil untuk masa kehamilan
·
Bayi kurang bulan
·
Ibu tidak disuntik TT
·
Ibu menderita DM
b. Riwayat persalinan
·
Persalinan dengan tindakan
·
Persalinan presipitatus
·
Gawat janin
c. Riwayat kelahiran
·
Trauma lahir
·
Lahir asfiksia
·
Pemotongan tali pusat dengan alat
tidak steril
2.
Pemeriksaan kelainan fisik bayi baru
lahir
a. Kesadaran
(normal, apatis, somnolen, sopor, koma)
b. Suhu tubuh
(normal, hipertermia, hipotermia)
c. Tanda-tanda
infeksi lainnya
3.
Penilaian kejang
a. Bentuk
kejang: gerakan bola mata abnormal, nystagmus, kedipan mata proksimal, gerakan
mengunyah, gerakan otot-otot muka, timbulnya apnea yang episode, adanya kelemahan
umum yang periodik, tremor, jitterness, gerakan klonik sebagian ekstremitas,
dan tubuh yang kaku.
b. Lama kejang.
c. Apakah
pernah terjadi sebelumnya.
4.
Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan
darah dapat berupa: gula darah, elektrolit darah (terutama kalsium dan
magnesium), darah tepi, punksi lumbal, punksi subdural, kultur darah, dan titer
TORCH
2. EKG dan EEC
3. Foto rotgen
dan USG kepala
2.8
Diagnosis banding
1.
Anoksia susunan saraf pusat
didapatkan gejala kejang yang disertai kebiruan pada tubuh bayi dan gagal
napas.
2.
Perdarahan otak bila diperoleh
kejang dengan riwayat trauma lahir pada kepala bayi.
3.
Cacat bawaan bila pada pemeriksaan
didaptkan kejang dengan kelainan mikrosefali.
4.
Sepsis yaitu kejang yang disertai
pemeriksaan fisik perut buncit dan hepatosplenomegali.
5.
Tetanus toksoid bila kejang disertai
mulut mecucu.
2.9 Penatalaksanaan kejang pada BBL
2.9.1
Prinsip tindakan untuk mengatasi
kejang
a.
Menjaga jalan nafas tetap bebas
Penting sekali mengusahakan jalan napas yang bebas agar oksigenasi
terjamin. Tindakan yang dapat segera dilakukan adalah membuka semua pakaian
yang ketat. Kepala sebaiknya dimiringkan untuk menghindari aspirasi isi
lambung. Bisa juga dengan memberikan benda yang dapat digigit guna mencegah
tergigitnya lidah atau tertutupnya jalan napas.
b.
Mengatasi kejang secepat mungkin
Untuk pertolongan pertama, bila suhu penderita meninggi, dapat dilakukan
kompres dengan air kran atau alkohol atau dapat juga diberi obat penurun panas
(antipiretik). Obat anti kejang seperti diazepam dalam sediaan perectal dapat
diberikan sesuai dengan dosis. Dosis tergantung dari BB, BB <10kg diberikan
5mg dan BB >10kg rata-rata pemakaiannya 0,4 - 0,6mg/KgBB.
c.
Mengobati penyebab kejang
Setelah penyebab kejang diketahui, dapat diberikan obat-obatan untuk
mengatasi penyebabnya. Misalnya kejang dikarenakan infeksi traktus respiratori
bagian atas, pemberian antibiotik yang tepat dapat mngobati infeksi tersebut.
2.9.2 Penanganan kejang pada BBL
a.
Bayi diletakan dalam tempat hangat,
pastikan bayi tidak kedinginan, suhu dipertahankan 36,5-37ᴼC
b.
Jalan nafas dibersihkan dengan
tindakan penghisapan lendir diseputar mulut, hisung dan nasofaring
c.
Pada bayi apnea, pertolongan agar
bayi bernafas lagi dengan alat Bag to Mouth Face Mask oksigen 2 liter/menit
d.
Infus
e.
Obat antispasmodik/anti kejang :
diazepam 0,5 mg/kg/supp/im setiap 2 menit sampai kejang teratasi dan luminal 30
mg im/iv
f.
Nilai kondisi bayi tiap 15 menit
g.
Bila kejang teratasi berikan cairan
infus dextrose 10% dengan tetesan 60ml/kgBB/hr
h.
Cari faktor penyebab
·
Apakah mungkin bayi dilahirkan dari
ibu DM
·
Apakah mungkin bayi prematur
·
Apakah mungkin bayi mengalami
asfiksia
·
Apakah mungkin ibu bayi emnghisap
narkotika
·
Kejang sudah teratasi, diambil bahan
untuk pemeriksaan laboratorium untuk mencari faktor penyebab, misalnya : darah
tepi, elektrolit darah, gula darah, kimia darah, kultur darah, pemeriksaan
TORCH
·
Kecurigaan kearah sepsis
(pemeriksaan pungsi lumbal)
·
Kejang berulang, diazepam dapat
diberikan sampai 2 kali
Ø
Masih kejang : dilantin 1,5 mg/kgBB
sebagai bolus iv diteruskan dalam dosis 20 mg iv setiap 12 jam
Ø
Belum teratasi : phenytoin 15
mg/kgBB iv dilanjutkan 2 mg/kg tiap 12 jam
Ø
Hipokalsemia (hasil lab kalsium
darah <8mg%) : diberi kalsium glukonas 10% 2 ml/kg dalam waktu 5-10 menit .
apabila belum juga teratasi diberi pyridoxin 25-50 mg
Ø
Hipoglikemia (hasil lab
dextrosit/gula darah < 40 mg%) : diberi infus dextrose 10%
BAB III
ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI
DENGAN KEJANG
Pengkajian data dilakukan pada ….
3.1 Data Subyektif
3.1.1. Biodata/Identifitas
Biodata bayi mencakup nama, tempat/tanggal lahir , umur, jenis kelamin.
Biodata orang
tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama,
umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
3.1.2. Keluhan Utama
Pada bayi kejang, keluhan yang ibu
utarakan antara lain bayinya tubuhnya gemetar, gerakan tubuhnya lebih aktif
dari biasanya, tidak terkendali, kejang-kejang, tiba-tiba menangis melengking,
bayi lemas/ tidak bergerak, mata berkedip terus menerus, mulut mecucu, tubuh
kaku
3.1.3. Riwayat Penyakit
Sekarang
Merupakan
perjalanan penyakit (kejang) yang di alami bayi. Waktu permulaan kejang dan
berapa lama ibu mengamati tanda-tanda bayinya kejang sampai dibawa ke petugas
kesehatan.
3.1.4 Penyakit Riwayat Dahulu
Riwayat kejang sebelumnya apakah merupakan kejang
berulang, trauma kepala, radang selaput otak (meningitis), epilepsi,
kelainan metabolisme seperti: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesemia,
hiponatremia, dan hypernatremia, hiperbilirubinemia, dan kelainan metabolisme
asam amino, perdarahan otak, dan infark serebri.
3.1.5
Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Riwayat kehamilan: bayi yang kecil
untuk masa kehamilan, bayi prematur, ibu mengalami infeksi dari bakteri dan
virus seperti TORCH, ibu yang tidak disuntik TT, ibu menderita DM.
Riwayat persalinan: persalinan
dengan tindakan (ektrasi cunam/ ekstrasi vakum), persalinan presipitatus,
persalinan presentasi bokong, pemotongan tali pusat yang tidak steril,
asfiksia, dan gawat janin.
Selain itu, bayi yang mengalami komplikasi
perinatal seperti tetanus neonatorum, trauma perdarahan intrakranial, dan
trauma susunan saraf pusat juga beresiko mengalami kejang.
3.1.6
Riwayat kesehatan keluarga.
Ibu terinfeksi
TORCH, menderita penyakit Diabetus Mellitus
3.1.7
Pola kebiasaan
Pola minum bayi sehari
normalnya 8-10 kali, pada bayi yang mengalami kelainan akan lebih malas
menyusu.
3.2 Data Obyektif.
3.2.1
Pemeriksaan Umum
Keadaan
umum : lemah-hiperaktif
Kesadaran : normal, apatis, somnolen, sopor, koma
Suhu :normal (36,5-37°C),
hipertermia (>37,5°C), hipotermia (<36,5°C).
Respirasi : apnea,
hiperpnea
(> 60x/mnt)
Nadi : nadi normal
bayi (120-160), apakah nadi bayi teraba lemah, ireguler, ataukah tidak teraba
3.2.2 Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
Tanda-tanda
kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun besar cembung, mikrosefali
2. Muka
Rhisus
sardonicus, pucat, gerakan otot-otot muka, asimetri wajah (sisi yang paresis tertinggal bila
anak menangis).
3. Mata
Deviasi bola mata secara horisontal, kedipan mata proksimal, kelopak mata
berkedip-kedip, gerakan cepat dari bola mata, nystagmus, dilatasi pupil.
4. Mulut
Cyanosis, strismus, lidah
menunjukan gerakan menyeringai, gerakan terkejut-kejut pada mulut dan pipi secara
tiba-tiba menghisap, mengunyah, menelan, menguap.
5. Leher
Tanda-tanda
kaku kuduk
6. Abdomen
Kekakuan
otot pada abdomen, tanda-tanda infeksi pada tali pusat, jika terjadi sepsis perut tampak
buncit dan hepatosplenomegali
7. Ekstremitas
Pergerakan seperti berenang, mengayuh pada anggota gerak atas dan bawah,
ekstensi lengan dan tungkai, menyerupai sikap deserebasi atau ekstensi tungkai
dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikas, gerakan ekstensi dan fleksi
lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat, gerakan
menyerupai refleks moro, tremor
3.2.3 Pemeriksaan laboratorium
1.
Pemeriksaan darah dapat berupa: gula
darah, elektrolit darah (terutama kalsium dan magnesium), darah tepi, punksi
lumbal, punksi subdural, kultur darah, dan titer TORCH
2.
EKG dan EEC
3.
Foto rotgen dan USG kepala
3.3 Assasement
Diagnosa aktual : Bayi “X” usia
0-28 hari dengan kejang…… (menurut klasifikasi kejang)
Masalah : Gangguan rasa nyaman bayi
akibat kejang
Gangguan
pemenuhan nutrisi akibat kejang
Diagnosa potensial: Epilepsi,
hipoksia serebral progresif, edema cerebral dan asidosis laktat.
Identifikasi kebutuhan
tindakan segera: rujukan, kolaborasi dengan dokter spesialis anak.
3.4
Planning
3.4.1 Planning di BPM:
1. Jelaskan
hasil pemeriksaan pada ibu tentang keadaan bayinya saat ini.
R/ informasi yang tepat dapat mengurangi
kecemasan ibu.
2. Lakukan
informed consent untuk setiap tindakan.
R/ informed consent mempermudah petugas
kesehatan untuk melakukan intervensi kepada pasien
3. Bebaskan jalan nafas
R/
oksigenasi terjamin, agar tidak terjadi hipoksia sel-sel otak.
4. Miringkan kepala
R/ untuk
menghindari aspirasi isi lambung.
5. Berikan benda yang dapat digigit
R/ mencegah
tergigitnya lidah atau tertutupnya jalan napas
6. Pertahankan suhu normal bayi
R/
suhu tubuh dapat dipengaruhi
oleh suhu lingkungan, kelembaban tinggi akan mempengaruhi panas atau dinginnya
tubuh.
7. Lakukan kompres dengan air kran dan beri obat
penurun panas (antipiretik) bila suhu bayi meninggi
R/
Perpindahan panas secara
konduksi dan menurunkan panas pada pusat hipotalamus
8.
Pasang infus cairan elektrolit
R/ Mencukupi kebutuhan cairan dan
memperbaiki metabolisme tubuh bayi.
9. Rujuk ke
rumah sakit terutama yang memiliki fasilitas NICU
R/ Untuk
mendapatkan penganan lebih lanjut.
3.4.2 Planning Di Rumah sakit
1. Jelaskan
hasil pemeriksaan pada ibu tentang keadaan bayinya saat ini.
R/ informasi yang tepat dapat mengurangi
kecemasan ibu.
2. Lakukan
informed consent untuk setiap tindakan.
R/ informed consent mempermudah petugas
kesehatan untuk melakukan intervensi kepada pasien
3. Bersihkan
jalan nafas dengan tindakan penghisapan lendir diseputar mulut, hidung dan
nasofaring
R/ Menghindari aspirasi
4. Berikan
oksigen dengan alat Bag to Mouth Face Mask oksigen 2 liter/menit pada bayi
apnea
R/ Membantu
oksigenasi agar tidak terjadi hipoksia sel-sel otak
5.
Pasang infus sesuai advice dokter
R/ Mencukupi
kebutuhan cairan dan memperbaiki metabolisme tubuh bayi.
6.
Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat antispasmodik/anti kejang : diazepam 0,5 mg/kg/supp/im setiap 2
menit sampai kejang teratasi dan luminal 30 mg im/iv
R/ Untuk
mengurangi, mengatasi da mencegah kejang berulang
7.
Nilai kondisi bayi tiap 15 menit
R/ Pemantauan kondisi bayi yang teratur dapat menentukan
perkembangan asuhan yang selanjutnya.
8.
Bila kejang teratasi berikan cairan
infus dextrose 10% dengan tetesan 60ml/kgBB/hr
R/ Mencukupi
kebutuhan cairan dan memperbaiki metabolisme tubuh bayi. Glukosa merupakan
sumber karbohirat yang mudah dicerna sehingga kebutuhan energi lebih cepat
terpenuhi.
9. Jika kejang
sudah teratasi, ambil bahan untuk pemeriksaan laboratorium, misalnya : darah
tepi, elektrolit darah, gula darah, kimia darah, kultur darah, pemeriksaan
TORCH
R/ mencari
factor penyebab
10. Jika kejang
berulang, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi:
diazepam dapat diberikan sampai 2
kali
Masih kejang : dilantin 1,5 mg/kgBB sebagai bolus iv diteruskan dalam dosis
20 mg iv setiap 12 jam
Belum teratasi : phenytoin 15 mg/kgBB iv dilanjutkan 2 mg/kg tiap 12 jam
Hipokalsemia (hasil lab kalsium darah <8mg%) : diberi kalsium glukonas
10% 2 ml/kg dalam waktu 5-10 menit . apabila belum juga teratasi diberi
pyridoxin 25-50 mg
Hipoglikemia (hasil lab dextrosit/gula darah < 40 mg%) : diberi infus
dextrose 10%
R/ Penanganan
secara komprehensif untuk mengatasi kejang dengan segera dan mencegah
komplikasi dari kejang yang berlangsung lama.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kejang pada BBL secara klinis adalah perubahan
proksimal dari fungsi neurologik (misalnya perilaku, sensorik, motorik, dan
fungsi autonom sistem syaraf yang terjadi pada bayi berumur sampai dengan 28
hari. Kejang dapat timbul sebagai suatu
kondisi dimana otot tubuh berkontraksi dan berelaksasi secara cepat dan
berulang, oleh karena abnormalitas sementara dari aktivitas elektrik di otak,
yaitu terjadi loncatan – loncatan listrik di dalam sel otak. Manifestasi klinik
kejang sangat bervariasi bahkan sangat sulit membedakan dengan gerakan bayi itu
sendiri. Meskipun demikian diagnosis yang cepat dan penanganan yang tepat
merupakan hal yang penting, karena pengenalan kondisi yang terlambat meskipun
tertangani akan dapat meninggalkan sekuel pada sistem syaraf.
4.2 Saran
Mengingat kejang merupakan
tanda bahaya yang sering terjadi pada BBL dan dapat mengakibatkan hipoksia otak
yang cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup bayi maka diperlukan pengetahuan
dan pemahaman yang baik agar sebagai bidan, kita dapat menangani kejang pada
BBL dalam praktik kebidanan kelak.
DAFTAR
PUSTAKA
Kosim, Sholeh.dkk.2008.Buku Ajar Neonatologi.Jakarta:Badan
Penerbit IDAI
Lissauer, Tom.dkk.2006.At the Glance Neonatologi.Jakarta:Erlangga
Marmi.2012.Asuhan
Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Saifudin,Abdul Bari.2008.Pelayanan Kesehatan Maternal Neonatal.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar