BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kualitas dari pelayanan kesehatan saat ini di tuntut untuk semakin
meningkat ke arah pelayanan yang lebih optimal. Hal tersebut
didorong oleh berbagai perubahan mendasar di masyarakat baik ekonomi,
pendidikan, teknologi dan informasi serta berbagai perubahan lainnya. Terlebih
lagi tuntutan dari pemerintah yang memberikan kemudahan-kemudahan bagi
masyarakat untuk menerima pelayanan kesehatan termasuk perubahan tuntutan
masyarakat pada peningkatan pelayanan kebidanan. Salah satu pelayanan kebidanan
yang juga memerlukan peningkatan kualitas adalah pelayanan asuhan kebidanan terhadap
bayi hipotermia.
Penyebab utama mortalitas neonatus di negara
berkembang adalah asfiksia, sindrom gangguan nafas, infeksi, serta komplikasi
hipotermia. Hipotermia pada neonatus merupakan kejadian umum di seluruh
dunia. Tingginya
angka morbiditas dan mortalitas Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) di negara
berkembang termasuk Indonesia, masih menjadi masalah utama terutama yang
berkaitan dengan kejadian hipotermia.
Hipotermia yaitu penurunan suhu tubuh bayi dibawah
suhu normal. Kehidupan bayi baru lahir yang paling kritis adalah saat mengalami
masa transisi dari kehidupan intrauterin ke kehidupan ekstrauterin. Salah satu
yang menjadi masalah yang dialami bayi pada masa transisi ini adalah
hipotermia.
Bayi premature maupun bayi
cukup bulan yang lahir dengan berat badan rendah, terutama di bawah 2000 gram,
terancam kematian akibat hipotermia yaitu penurunan suhu badan di bawah 36,5oC
disamping asfiksia dan infeksi. (Imral Chair,2007)
Angka kematian bayi baru lahir di Indonesia tergolong masih tinggi,
berdasarkan laporan World Health Organitation (WHO) tahun 2005 angka kematian bayi baru lahir di Indonesia
adalah 20 per 1000 kelahiran hidup. Jika angka kelahiran hidup di Indonesia
sekitar 5 juta per tahun dan angka kematian bayi 20 per 1000 kelahiran hidup,
berarti sama halnya dengan setiap hari 246 bayi meninggal, setiap satu jam 10
bayi Indonesia meninggal, jadi setiap enam menit satu bayi Indonesia meninggal
(Roesli Utami, 2008).
WHO memperkirakan hampir sekitar 98% dari lima juta kematian neonatal
terjadi di negara berkembang. Lebih dari dua pertiga kematian itu terjadi pada
periode neonatal dini dan 42% kematian neonatal disebabkan infeksi seperti:
sepsis, tetanus neonatorum, meningitis, pneumonia, dan diare (Imral chair,
2007).
Angka kematian sepsis neonatorum menurut DEPKES RI cukup tinggi yaitu
sekitar 13-50% dari angka kematian bayi baru lahir. Masalah yang sering timbul
sebagai komplikasi sepsis neonatorum adalah meningitis, kejang, hipotermi,
hiperbilirubinemia, gangguan nafas, dan minum.(Depkes, 2007).
Bayi yang mengalami hipotermia
mempunyai risiko tinggi terhadap kematian sehingga memerlukan pengawasan dan
perawatan yang intensif dan ketat dari tenaga kesehatan yang berpengalaman dan
berkualitas tinggi. Peran bidan sangat diperlukan untuk mencengah terjadinya
risiko hipotermia pada bayi. Seorang bidan itu harus memiliki pengetahuan yang
luas, sikap dan keterampilan dalam melakukan asuhan untuk mencegah terjadinya
hal yang tidak diinginkan. Pentingnya pengetahuan dari seorang bidan tersebut
dalam pemberi asuhan kebidanan pada bayi baru lahir melatarbelakangi penulis
dalam pembuatan makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian/definisi dari
hipotermia pada BBL?
2.
Apa saja etiologi dari hipotermia
pada BBL?
3.
Bagaimana patofisiologi dari
hipotermia pada BBL?
4.
Apa saja tanda dan gejala dari
hipotermia pada BBL?
5.
Bagaimana menentukan diagnosis
hipotermia pada BBL?
6.
Apa saja komplikasi yang dapat
terjadi pada BBL yang mengalami hipotermia?
7.
Bagaimana penanganan serta
pencegahan hipotermia pada BBL?
C.
Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum
dari pembuatan makalah ini adalah untuk menjelaskan hipotermia pada bayi baru
lahir.
2.
Tujuan
Khusus
Tujuan khusus dari penulisan makalah ini :
a. Untuk
menjelaskan pengertian hipotermi pada bayi baru lahir.
b. Untuk
menjelaskan penyebab/etiologi dari hipotermi pada BBL.
c.
Untuk menjelaskan patofisiologi dari
hipotermi pada BBL.
d.
Untuk menjelaskan tanda dan gejala
dari hipotermi pada BBL.
e.
Untuk menjelaskan cara menentukan
diagnosis hipotermia pada BBL.
f.
Untuk menjelaskan komplikasi yang
dapat terjadi pada BBL yang mengalami hipotermia.
g.
Untuk menjelaskan Penanganan serta
pencegahan hipotermi pada BBL.
D.
Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Penulis dapat mengembangkan pola
pikir serta menambah pengetahuan dan pemahaman tentang hipotermia dalam
melaksanakan asuhan kebidanan.
2.
Pembaca dapat memperoleh pengetahuan
dan pemahaman tentang hipotermi pada bayi baru lahir
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Hipotermia
didefinisikan sebagai suhu inti tubuh di bawah 36oC (Rutter 1999). Saat suhu tubuh
berada di bawah tingkat ini, bayi beresiko mengalami stres dingin (Fraser &
Cooper.ed, 2009). Menurut Sarwono (2002), gejala awal hipotermia apabila suhu
< 36oC
atau kedua kaki dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi teraba
dingin, maka bayi sudah mengalami
hipotermia sedang (suhu 32oC
– 36oC).
Disebut hipotermia kuat bila suhu tubuh <32oC. Hipotermia pada BBL adalah suhu
di bawah 36,5oC, yang terbagi atas hipotermia ringan (cold stress)
yaitu suhu antara 36-36,5oC, hipotermia sedang yaitu suhu antara
32-36oC, dan hipotermia berat yaitu suhu tubuh <32oC.
Disamping
sebagai suatu gejala, hipotermia dapat merupakan awal penyakit yang berakhir
dengan kematian. Hipotermia menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh darah,
yang mengakibatkan terjadinya metabolik anerobik, meningkatkan kebutuhan
oksigen, mengakibatkan hipoksemia dan berlanjut dengan kematian.
B.
Etiologi
Hipotermia dapat
terjadi setiap saat apabila suhu disekeliling bayi rendah dan upaya
mempertahankan suhu tubuh tetap hangat tidak diterapkan secara tepat, terutama
pada masa stabilisasi yaitu 6-12 jam pertama, setelah lahir. Misalnya bayi baru
lahir dibiarkan basah dan telanjang selama menunggu plasenta lahir atau
meskipun lingkungan sekitar bayi cukup hangat namun bayi dibiarkan telanjang
atau segera dimandikan.
BBL dapat
mengalami hipotermi melalui beberapa mekanisme, yang berkaitan dengan kemampuan
tubuh untuk menjaga keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas.
1. Penurunan
Produksi Panas
Hal
ini dapat disebabkan kegagalan dalam sistem endokrin dan terjadi penurunan
basal metabolisme tubuh, sehingga timbul proses penurunan produksi panas,
misalnya pada keadaan disfungsi kelenjar tiroid, adrenal ataupun pituitaria.
2. Peningkatan
Panas yang Hilang
Terjadi
bila panas tubuh berpindah ke lingkungan sekitar, dan tubuh kehilangan panas.
Adapun mekanisme tubuh kehilangan panas dapat terjadi secara :
a. Konduksi
:
Yaitu perpindahan panas yang
terjadi sebagai akibat perbedaan suhu antara kedua obyek. Kehilangan panas
terjadi saat terjadi kontak langsung antara kulit BBL dengan permukaan yang
lebih dingin. Sumber kehilangan panas terjadi pada BBL yang berada pada
permukaan/alas yang dingin, seperti pada waktu proses penimbangan. Bayi yang diletakkan diatas meja, tempat
tidur atau timbangan yang dingin akan cepat mengalami kehilangan panas tubuh
melalui konduksi.
b. Konveksi
:
Transfer panas terjadi secara
sederhana dari selisih suhu antara permukaan kulit bayi dan aliran udara yang dingin
di permukaan tubuh bayi. Sumber kehilangan panas disini dapat berupa : bayi yang diletakkan di dekat pintu/jendela
terbuka, inkubator dengan jendela yang terbuka, atau pada waktu proses
transportasi BBL ke rumah sakit.
c. Radiasi
:
Yaitu perpindahan suhu dari suatu
objek panas ke objek yang dingin, misalnya dari bayi dengan suhu yang hangat
dikelilingi suhu lingkungan yang lebih dingin. Sumber kehilangan panas dapat
berupa suhu lingkungan yang dingin atau suhu inkubator yang dingin. Bayi akan mengalami kehilangan panas
melalui cara ini meskipun benda yang lebih dingin tersebut tidak bersentuhan
langsung dengan tubuh bayi.
d. Evaporasi
:
Cara
kehilangan panas yang utama pada tubuh bayi. Panas
terbuang akibat penguapan, melalui permukaan kulit dan traktus respiratorius.
Sumber kehilangan panas dapat berupa BBL yang basah setelah lahir, karena
menguapnya cairan ketuban pada permukaan tubuh bayi setelah lahir dan bayi tidak cepat dikeringkan atau
terjadi setelah bayi dimandikan.
3. Kegagalan
Termoregulasi
Suhu
bayi baru lahir dapat turun beberapa derajat setelah kelahiran karena
lingkungan eksternal lebih dingin daripada lingkungan di dalam uterus. Kegagalan termoregulasi secara umum
disebabkan kegagalan hipotalamus dalam menjalankan fungsinya dikarenakan berbagai
penyebab. Keadaan hipoksia intrauterine/saat persalinan/post partum, defek
neurologik dan paparan obat prenatal (analgesik/anastesi) dapat menekan respon
neurologik bayi dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Bayi sepsis akan mengalami
masalah dalam pengaturan suhu dapat menjadi hipotermi atau hipertermi.
Setelah lahir, suhu tubuh bayi
dapat turun sangat cepat. Bayi aterm yang sehat akan berusaha mempertahankan
suhu tubuhnya dalam kisaran normal. Namun, jika bayi bermasalah saat lahir oleh
kondisi di bawah ini, stress tambahan akibat hipotermia dapat membahayakan :
a. Asfiksia
berat
b. Resusitasi
ekstensif
c. Pengeringan
setelah kelahiran yang terlambat
d. Gawat
napas
e. Hipoglikemia
f. Sepsis
g. Bayi
premature atau KMK
C.
Patofisiologi
Apabila terjadi
paparan dingin, secara fisiologis tubuh akan memberikan respon untuk
menghasilkan panas berupa :
1. Shivering
thermoregulation/ST
Merupakan mekanisme tubuh berupa
menggigil atau gemetar secara involunter akibat dari kontraksi otot untuk
menghasilkan panas.
2. Non-
Shivering thermoregulation/NST
Merupakan mekanisme yang
dipengaruhi oleh stimulasi sistem saraf simpatis untuk menstimulasi proses
metabolik dengan melakukan oksidasi terhadap jaringan lemak coklat. Peningkatan
metabolisme jaringan lemak coklat akan meningkatkan produksi panas dari dalam
tubuh.
3. Vasokonstriksi
perifer
Mekanisme ini juga distimulasi oleh
sistem saraf simpatis, kemudian sistem saraf perifer akan memicu otot sekitar
arteriol kulit untuk berkontraksi sehingga terjadi vasokonstriksi. Keadaan ini
efektif untuk mengurangi aliran darah ke jaringan kulit dan mencegah hilangnya
panas yang tidak berguna.
Pada
bayi, respon fisiologis terhadap paparan dingin adalah dengan proses oksidasi
dari lemak coklat atau jaringan adiposa coklat. Pada BBL, NST (proses oksidasi
jaringan lemak coklat) adalah jalur yang utama dari suatu peningkatan produksi
panas yang cepat, sebagai reaksi atas paparan dingin. Paparan dingin yang
berkepanjangan harus dihindarkan oleh karena dapat menimbulkan efek samping
serta gangguan – gangguan metabolik yang berat. Segera setelah lahir, tanpa
penanganan yang baik, suhu tubuh bayi rata-rata akan turun 0,1oC-0,3oC
setiap menitnya, sedangkan LeBlanc (2002) menyebutkan bahwa suhu tubuh bayi
akan turun 2oC dalam setengah jam pertama kehidupan. WHO Consultative Group on Thermal Control menyebutkan
bahwa BBL yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat, suhunya akan turun 2oC-4oC
dalam 10-20 menit kemudian setelah kelahiran.
D.
Tanda
dan Gejala
Hipotermi
ditandai dengan akral dingin, bayi tidak mau minum, kurang aktif, kutis
marmorata, pucat, takipneu atau takikardi. Sedangkan hipotermi yang berkepanjangan,
akan menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen, distres respirasi,
gangguan keseimbangan asam basa, hipoglikemia, defek koagulasi, sirkulasi fetal
persisten, gagal ginjal akut, enterokolitis nekrotikan, dan pada keadaan yang
berat akan menyebabkan kematian.
Saat neonatus
terpajan dengan dingin, pertama-tama ia menjadi sangat gelisah; kemudian, saat
suhu inti tubuhnya menurun, ia mengadopsi posisi fleksi yang rapat guna mencoba
mempertahankan panas. Bayi yang sakit atau premature akan cenderung berbaring
terlentang dengan posisi seperti katak dengan semua permukaan tubuhnya
terpajan, yang memaksimalkan kehilangan panas (Robenton, 2001).
Orang dewasa
dapat menghilangkan panas dengan menggigil, sementara neonatus menggunakan
cadangan lemak coklat mereka. Selama metabolisme lemak coklat, oksigen di konsumsi dan
hal ini dapat menyebabkan perubahan pola pernapasan, biasanya meningkatkan
frekuensinya. Selain itu, bayi mungkin dapat terlihat pucat atau bercak-bercak
dan mungkin tidak mau menyusu. Hipoglikemia merupakan gambaran umum pada bayi
dengan peningkatan penggunaan energi
yang berhubungan dengan termoregulasi dan hal ini dapat menyebabkan bayi
menggerakan ekstremitas dengan tersentak-sentak, meskipun diam dan sering kali
lemas.
Sarwono (2002),
mengklasifikasikan tanda dan gejala hipotermia pada neonatus seperti dibawah
ini :
1. Gejala
hipotermia bayi baru lahir
a. Bayi
tidak mau minum/menetek
b. Bayi
tampak lesu atau mengantuk saja
c. Tubuh
bayi teraba dingin
d. Dalam
keadaan berat, denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh bayi mengeras
(sklerema)
2. Tanda-tanda
hipotermia sedang (Stres dingin)
a. Aktivitas
berkurang, letargis
b. Tangisan
lemah
c. Kulit
berwarna tidak rata (cutis marmorata)
d. Kemampuan
menghisap lemah
e. Kaki
teraba dingin
3. Tanda-tanda
hipotermia berat (Cedera dingin)
a. Sama
dengan hipotermia sedang
b. Bibir
dan kuku kebiruan
c. Pernafasan
lambat
d. Pernafasan
tidak teratur
e. Bunyi
jantung lambat
f. Selanjutnya
mungkin timbul hipoglikemia dan asidosis metabolik
4. Tanda-tanda
stadium lanjut hipotermia
a. Muka,
ujung kaki dan tangan berwarma merah terang
b. Bagian
tubuh lainnya pucat
c. Kulit
mengeras merah dan timbul edema terutama pada punggung, kaki dan tangan
(sklerema)
E.
Diagnosis
Diagnosis
hipotermi ditegakkan dengan pengukuran suhu baik suhu tubuh atau kulit bayi.
Pengukuran suhu ini sangat bermanfaat sebagai salah satu petunjuk penting untuk
deteksi awal adanya suatu penyakit, dan pengukurannya dapat dilakukan melalui
aksila, rektal atau kulit. Untuk mengukur suhu hipotermia diperlukan termometer
ukuran rendah (low reading thermometer)
yang dapat mengukur sampai 25oC.
F.
Komplikasi
Hipotermia dapat
menyebabkan komplikasi, seperti peningkatan konsumsi oksigen, produksi asam
laktat, apneu, penurunan kemampuan pembekuan darah dan yang paling sering
terlihat hipoglikemia. Pada bayi premature, stress dingin dapat menyebabkan
penurunan sekresi dan sintetis surfaktan. Membiarkan bayi dingin meningkatkan
mortalitas dan morbiditas.
G.
Penanganan
serta Pencegahan Hipotermia
Bayi Baru Lahir
Kesempatan untuk
bertahan hidup pada BBL ditandai dengan keberhasilan usahanya dalam mencegah
hilangnya panas dari tubuh. Untuk itu, BBL haruslah dirawat dalam lingkungan
suhu netral (Neutral Thermal Environment/NTE). NTE adalah rentang suhu
eksternal, dimana metabolisme dan konsumsi oksigen berada pada tingkat minimum,
dalam lingkungan tersebut bayi dapat mempertahankan suhu tubuh normal.
Namun, pada bayi-bayi yang mengalami hipotermia maka
harus ditangani secara cepat dan tepat. Penanganan hipotermia pada bayi, yaitu :
1. Bayi
yang mengalami hipotermia biasanya mudah
sekali meninggal. Tindakan yang harus dilakukan adalah segera menghangatkan
bayi di dalam inkubator atau melalui penyinaran lampu.
2. Cara
lain yang sangat sederhana dan mudah dikerjakan oleh setiap orang adalah
menghangatkan bayi melalui panas tubuh ibu. Bayi diletakkan telungkup di dada
ibu agar terjadi kontak kulit langsung ibu dan bayi. Untuk menjaga agar bayi
tetap hangat, tubuh ibu dan bayi harus berada dalam satu pakaian (merupakan
teknologi tepat guna baru) disebut sebagai Metoda Kanguru. Sebaiknya ibu
menggunakan pakaian longgar berkancing depan.
3. Bila
tubuh bayi masih dingin, gunakan selimut atau kain hangat yang disetrika
terlebih dahulu, yang digunakan untuk menutupi tubuh bayi dan ibu. Lakukanlah
berulang kali sampai tubuh bayi hangat.
4. Biasanya
bayi hipotermia menderita hipoglikemia, sehingga bayi harus diberi ASI sedikit-sedikit sesering mungkin. Bila bayi
tidak menghisap, diberi infus glukosa 10% sebanyak 60-80 ml/kg per hari.
5. Menunda
memandikan bayi baru lahir sampai suhu tubuh bayi stabil. Untuk mencegah
terjadinya serangan dingin, ibu/keluarga dan penolong persalinan harus menunda
memandikan bayi.
a. Pada
bayi baru lahir sehat yaitu lahir cukup bulan, berat >2500 gram, langsung
menangis kuat, maka memandikan bayi ditunda selama ± 24 jam setelah kelahiran.
Pada saat memnadikan bayi, gunakanlah air hangat.
b. Pada
bayi lahir dengan resiko (tidak temasuk kriteria diatas), keadaan umum
bayi lemah atau bayi dengan berat lahir
<2000 gram, sebaiknya bayi jangan dimandikan, ditunda beberapa hari sampai
keadaan umum membaik yaitu bila suhu tubuh bayi stabil, bayi sudah lebih kuat
dan dapat menghisap ASI dengan baik.
Sepuluh langkah
proteksi termal untuk mencegah terjadinya hipotermia pada bayi baru lahir :
Langkah ke 1 : Ruang melahirkan yang hangat
Selain bersih,
ruang bersalin tempat ibu melahirkan harus cukup hangat dengan suhu ruangan
antara 25oC-28oC serta bebas dari aliran arus udara
melalui jendela, pintu, ataupun dari kipas angin. Selain itu sarana resusitasi
lengkap yang diperlukan untuk pertolongan BBL sudah disiapkan.
Langkah ke 2 : Pengeringan segera
Segera setelah
lahir, bayi dikeringkan kepala dan tubuhnya, dan segera mengganti kain yang
basah dengan kain yang hangat dan kering. Kemudian diletakkan dipermukaan yang
hangat seperti pada dada atau perut ibunya atau segera dibungkus dengan pakaian
hangat.
Langkah ke 3 : Kontak kulit dengan kulit
Kontak kulit dengan
kulit adalah cara yang sangat efektif untuk mencegah hilangnya panas pada BBL,
baik pada bayi-bayi aterm maupun preterm. Dada atau perut ibu merupakan tempat
yang sangat ideal bagi BBL untuk mendapatkan lingkungan suhu yang tepat.
Langkah ke 4 : Pemberian ASI
Pemberian ASI
sesegera mungkin, sangat dianjurkan dalam jam-jam pertama kehidupan BBL.
Pemberian ASI dini dan dalam jumlah yang mencukupi akan sangat menunjang
kebutuhan nutrisi, serta akan berperan dalam proses termoregulasi pada BBL.
Langkah ke 5 : Tidak segera memandikan/menimbang bayi
Memandikan bayi
dapat dilakukan beberapa jam kemudian (paling tidak setelah 6 jam) yaitu
setelah keadaan bayi stabil. Tindakan memandikan bayi segera setelah lahir akan
menyebabkan terjadinya penurunan suhu tubuh bayi. Menimbang bayi juga dapat
ditunda beberapa saat kemudian dan dianjurkan pada saat menimbang, timbangan
yang digunakan diberi alas kain hangat.
Langkah ke 6 : Pakaian dan selimut bayi adekuat
Kurang lebih 25%
kehilangan panas dapat terjadi melalui kepala bayi sehingga BBL perlu beberapa
lapis pakaian serta selimut, dan diberi topi untuk mencegah kehilangan panas
tersebut.
Langkah ke 7 : Rawat gabung
Bayi-bayi yang
dilahirkan dirumah ataupun di rumah sakit, perlu dijadikan satu dalam tempat
tidur yang sama dengan ibunya, selama 24 jam penuh dalam ruangan yang cukup
hangat. Hal ini akan sangat menunjang pemberian ASI on demand, serta mengurangi
resiko terjadinya infeksi nosokomial pada bayi-bayi yang lahir di rumah sakit.
Langkah ke 8 : Transpotasi hangat
Apabila bayi perlu
segera dirujuk ke rumah sakit, atau ke bagian lain di lingkungan rumah sakit
seperti di ruang rawat bayi atau di NICU, sangat penting untuk selalu menjaga
kehangatan bayi selama dalam perjalanan.
Langkah ke 9 : Resusitasi hangat
Pada waktu
melakukan resusitasi, perlu menjaga agar tubuh bayi tetap hangat. Hal ini
sangat penting karena bayi-bayi yang mengalami asfiksia, tubuhnya tidak dapat
menghasilkan panas yang cukup efesien sehingga mempunyai resiko tinggi
menderita hipotermia.
Langkah ke 10 : Pelatihan dan sosialisasi rantai hangat
Semua pihak yang
terlibat dalam proses kelahiran serta perawatan bayi (dokter, bidan, perawat,
dan lain-lain), perlu dilatih dan diberikan pemahaman tentang prinsip-prinsip
serta prosedur yang benar tentang rantai hangat. Keluarga dan anggota
masyarakat yang mempunyai bayi di rumah, perlu diberikan pengetahuan dan
kesadaran tentang pentingnya menjaga agar bayinya tetap hangat.
BAB
III
TINJAUAN
KASUS
A.
PENGKAJIAN DATA
Tanggal : 30 November 2013
Jam : 23.15 WIB
Tempat : di Rumah Bersalin “Harapan Ibu”
Oleh : Bidan Nae, Amd. Keb.
No. Reg : -
1.
Data Subyektif
a.
Biodata
Nama bayi : “D” Nama ibu/ayah : Ny. L &Tn A
Tanggal lahir : 30-11-13 Umur : 25 th& 27 th
Jenis kelamin : Laki-laki Pendidikan : SMA & SMA
Umur : 6 jam Pekerjaan
: IRT & swasta
Alamat : Kanjeran, Sby Agama :
Islam
Alamat
: Kanjeran,Sby
b.
Keluhan Utama
-
c.
Riwayat Prenatal
Ibu mengatakan hamil pertama, ibu tidak
pernah menderita penyakit yang dapat mempengaruhi seperti DM, hepatitis,
jantung, asma, hipertensi, dan TBC.Ibu periksa hamil 6x selama hamil. Ibu
suntik TT selama hamil 2x, ibu makan 2-3 x. hari
d.
Riwayat Natal
Ibu mengatakan usia kehamilannya 9
bulan, bayi lahir 17.15 WIB lahir normal, Bayi lahir tidak langsung menangis.BB
bayi 3100 gr PB 49 cm ketuban banyak dan jernih, tidak ada lilitan tali pusat
dan ditolong oleh bidan.
e.
Kebutuhan dasar
1)
Pola nutrisi
Bayi sudah diberi ASI, kemampuan
menghisap melemah.
2)
Pola eliminasi
Bayi sudah BAB 1x, BAK 2x
3)
Pola istirahat / tidur
Bayi sudah istirahat / tidur
4)
Pola aktivitas
Tangisan bayi melemah, gerakan berkurang.
f.
Riwayat penyakit keluarga
Ibu mengatakan tidak pernah menderita
penyakit yang dapat berpengaruh dan menular terhadap bayi seperti DM, jantung,
TBC, hipertensi, asma, hepatitis.
g.
Riwayat Psikososial
Ibu, suami dan keluarga sangat senang
dengan kelahiran bayinya dan ibu mengatakan siap merawat bayinya.
2.
Data Obyektif
a.
Pemeriksaan umum
K
: lemah, bayi menangis
TTV :
suhu :
35,50 C
BJA :
80 x/menit
RR :
50 x/menit
b.
Pemeriksaan Fisik
Kepala :tidak ada kelainan
Muka :kemerahan
Mata :Konjungtiva kemerahan, sclera tidak
icterus, tidak ada perdarahan.
Hidung :tidak ada pernafasan cuping hidung,
nafas spontan.
Telinga :simetris, tidak mengeluarkan cairan
Mulut :reflek hisap lemah.
Leher :tidak ada pembesaran kelenjar
limfe, venajugularis
Dada :tidak terdapat retraksi dinding
dada, tidak terdapat pernfasan diafragmatik, tidak ada benjolan, regular, bayi
ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen :tali
pusat belum lepas dan sudah ditali
Genetalia :testis belum turun, glan penis normal
Ekstremitas : warna kulit dan kuku kemerahan, teraba dingin.
c.
Pemeriksaan Neurologis
1)
Reflek moro
Pada bayi timbul gerak terkejut ketika mendengar
suara keras.
2)
Reflek menggenggam
Saat tangan disentuh dengan jari
pemeriksan bayi menggenggam lemah jari pemeriksa
3)
Reflek rooting
Bayi menoleh waktu pipi disentuh
4)
Reflek menghisap
Hisapan bayi pada putting susu lemah
5)
Glabella reflek
Bayi mengerutkan kening dan mengedipkan
mata saat disentuh pada daerah glabella
d.
Pemeriksaan antropometri
1)
BB : 3100 gr
2)
PB : 49 cm
3)
LK : 34 cm
3.
Analisa
Diagnosa :
Bayi baru lahir dengan hipotermi sedang
Diagnosa Potensial :
Hipotermi berat, apneu, hipoglikemia.
Masalah : -
Masalah potensial : -
4.
Penatalaksanaan
a. Memberikan KIE
pada ibu dan keluarga tentang kondisi bayi.
E/ Ibu dan keluarga mengerti kondisi bayi dan
tampak kooperatif dengan bidan.
b. Mengembalikan suhu
tubuh bayi dengan cara kontak kulit dengan ibu
E/ Bayi sudah
diletakkan diatas perut ibu dan diberi selimut serta penutup kepala.
c. Memberitahu
ibu untuk memberikan ASI sesering mungkin.
E/ Ibu
menyusui bayinya.
d. Menunda
memandikan bayi sampai suhu tubuh stabil.
E/ Bayi tidak
dimandikan.
e. Memantau suhu
tubuh bayi setiap 15 menit.
E/ suhu tubuh stabil pada jam 00.15
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hipotermia didefinisikan sebagai suhu inti tubuh di
bawah 36oC
(Rutter 1999). BBL dapat mengalami hipotermi melalui
beberapa mekanisme, yang berkaitan dengan kemampuan tubuh untuk menjaga
keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas diantaranya adalah
penurunan produksi panas, peningkatan panas yang hilang
dan kegagalan
termoregulasi. Hipotermi ditandai dengan akral dingin, bayi tidak mau minum,
kurang aktif, kutis marmorata, pucat, takipneu atau takikardi. Diagnosis
hipotermi ditegakkan dengan pengukuran suhu melalui aksila, rektal
atau kulit.
Hipotermia dapat menyebabkan komplikasi, seperti
peningkatan konsumsi oksigen, produksi asam laktat, apneu, penurunan kemampuan
pembekuan darah dan yang paling sering terlihat hipoglikemia. Jika bayi sudah
mengalami hipotermia, penanganan yang diberikan harus adekuat dengan cara
hangatkan tubuh bayi dengan incubator, penyinaran lampu atau dengan cara kontak
kulit langsung. Selain itu cegah terjadinya hipoglikemi dengan memberikan
cairan pada bayi baik ASI maupun cairan dextrose.
B.
Saran
1. Hipotermia
pada bayi baru lahir dapat lebih mudah di tangani bahkan di cegah apabila ada
kerjasama yang baik antara petugas kesehatan dan anggota keluarga.
2. Bidan
sebaiknya memberikan pendidikan kesehatan kepada calon ibu, calon ayah, dan
anggota keluarga lainnya bahwa bayi yang lahir tidak terlepas dari resiko
hipotermia. Dengan demikian, keluarga sudah dipersiapkan untuk melengkapi
kebutuhan (misalnya : topi, pakaian, selimut bayi) untuk digunakan bayi setelah
lahir.
DAFTAR
PUSTAKA
Fraser Diane M, Margareth A. 2009. Buku Ajar Bidan Myles. Jakarta:EGC
Prawiroharjo,
Sarwono dkk. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta:YBBPS
Kosim, Soleh, dkk.
2010. Buku Ajar Neonatologi Edisi I
Cetakan Kedua. Jakarta: IDAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar