BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kernikterus merupakan
suatu sindroma kerusakan otak yang ditandai dengan athetoid cerebral palsy,
gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental
retardasi.
Pada
beberapa bayi baru lahir, hati memproduksi pigmen kuning yang disebut bilirubin
yang berlebihan, sehingga mengakibatkan kulit dan sklera mata berubah warna
menjadi kuning. Keadaan ini disebut dengan ikterus. Beberapa bayi, keadaan ini
bisa hilang sendiri, tetapi pada beberapa bayi lainnya bila tidak ditangani
dengan cepat dan benar maka bisa menyebabkan kadar bilirubin menjadi sangat
tinggi yang bersifat toksik dan dapat merusak otak.
Bayi
baru lahir dengan ikterus yang tidak ditangani secara medis bisa saja mengalami
kern ikterus, tetapi bukan berarti setiap bayi kuning akan menghadapi masalah
ini. Bila timbul ikterus,
dapat diterapi dengan fototerapi, tetapi bila tidak berhasil maka dapat
dilakukan transfusi tukar (exchange transfusion).
Beberapa tanda kern
ikterus yaitu; kulit bayi yang sangat kuning bahkan oranye, tidur yang
berkepanjangan bahkan sulit untuk dibangunkan, menyusui sangat kurang, serta
kelemahan umum.
Pada
kasus kernikterus ini, pencegahan lebih baik daripada pengobatan, terlebih bila
bayi sudah mencapai tingkat kerusakan otak yang hebat sehingga menjadikan
prognosis kernikterus buruk.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1 Apa pengertian ikterus?
1.2.2 Bagaimana patofisiologi ikterus?
1.2.3 Bagaimana cara mendeteksi dini bayi dengan ikterus?
1.2.4 Apa dampak yang ditimbulkan dari ikterus?
1.2.5 Bagaimana penatalaksanaan pada bayi dengan kernikterus?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dan patofisiologi ikterus.
1.3.2 Untuk mendeteksi dini bayi dengan ikterus.
1.3.3 Untuk mengetahui komplikasi yang ditimbulkan dari ikterus.
1.3.4 Untuk mengetahui penatalaksaanan yang diberikan bidan terhadap bayi yang
mengalami kernikterus.
1.4 Manfaat
1.4.1 Sebagai bahan tambahan pengetahuan bagi penyusun dan mahasiswa
lainnya
1.4.2 Sebagai bahan diskusi dalam tugas mata kuliah
1.4.3 Sebagai tambahan referensi bagi tugas-tugas yang berkaitan dengan
makalah ini
|
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikterus
2.1.1
Definisi Ikterus
Ikterus adalah keadaan
transisional normal yang mempengaruhi hingga 50% bayi aterm yang
mengalami peningkatan progresif pada kadar bilirubin tak terkonjugasi
dan ikterus pada hari ketiga (Myles, 2009).
Ikterus adalah ikterus
yang timbul pada hari kedua dan ketiga, tidak mempunyai dasar patologis,
kadarnya tidak melampaui batas kadar yang membahayakan. Tidak mempunyai
potensi kern ikterus, tidak menyebabkan morbiditas pada bayi (Saifudin, 2006)
Ikterus adalah
menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam
tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/ml dalam 24 jam,
yang menandakan terjadinya gangguan fungsional dari liper, sistem biliary, atau
sistem hematologi (Muslihatun, 2010)
Kesimpulan dari
pengertian ikterus adalah warna kulit dan membran mukosa berwarna kuning karena
kadar bilirubin lebih dari 5 mg/ml, yang timbul pada hari kedua dan ketiga,
sampai hari kesepuluh dengan tidak ada tanda-tanda patologis.
Menurut Haws (2007)
ikterus dibagi menjadi dua, yaitu ikterus fisiologis dan ikterus patologis.
Ikterus fisiologis adalah peningkatan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi
serum selama minggu pertama kehidupan yang menghilang sendiri. Sedangkan
ikterus patologis adalah ikterus yang terjadi sebelum usia 24 jam dan kecepatan
peningkatannya > 0,5 mg/dL/jam.
Penentuan
derajat ikterus menurut pembagian zona tubuh (Kramer, 1969) adalah:
1.
Kramer
I. Apabila warna kuning di daerah kepala (bilirubin total ± 5 – 7 mg%)
2.
|
3.
Kramer III. Apabila warna
kuning sampai perut dibawah pusat sampai dengan lutut (bilirubin total ± 10 – 13 mg%)
4.
Kramer IV. Apabila warna
kuning sampai lengan sampai dengan pergelangan tangan tungkai bawah sampai
dengan pergelangan kaki (bilirubin total ± 13 – 17 mg%)
5.
Kramer V. Apabila warna
kuning sampai dengan telapak tangan dan telapak kaki (bilirubin total > 17
mg%)
2.1.2
Etiologi
Ikterus dapat disebabkan
oleh bermacam-macam keadaan. Penyebab yang sering ditemukan disini adalah
hemolisis yang timbul akibat inkompatibilitas golongan darah ABO atau
difisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini juga dapat timbul akibat perarahan
tertutup (hematomcepal, perdarahan subaponeurotik) atau inkompatibilitas darah
Rh. Infeksi juga memegang peranan penting dalan terjadinya ikterus. Keadaan ini
terutama terjadi pada penderita sepsis dan gastroenteritis. Beberapa faktor
lain adalah hipoksia atau anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia, dan
polisitemia.
Metabolisme bilirubin
pada bayi neonatus berada dalam bentuk peralihan dari tingkat janin dimana
plasenta merupakan jalan utama pembuang bilirubin yang larut dalam lipid,
menjadi tingkat dewasa, dimana bentuk terkonjugasi dan larut dalam air
dikeluarkan dari sel-sel hati ke dalam sistem empedu untuk selanjutnya ke dalam
saluran pencernaan. Setiap factor yang meningkatkan beban bilirubin yang harus
dimetabolisme oleh hati (anemia hemolitik, usia sel darah merah yang pendek
akibat imaturitas, peningkatan sirkulasi enterohepatik infeksi).
Setiap faktor yang dapat
meniadakan atau menurunkan jumlah enzim atau yang mengakibatkan penurunan uptake bilirubin oleh sel-sel hati
(cacat genetik dan prematuritas) dapat meningkatkan derajat ikterus.
Pemberian makanan yang
dini akan menurunkan, sedangkan dehidrasi akan meningkakan
kadar bilirubin serum. Obat-obatan seperti oksitosin dan bahan yang
dipergunakan dalam perawatan bayi seperti pembersih fenol dapat pula
mengakibatkan ikterus.
2.1.3 Patofisiologi
Bilirubin merupakan
produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar
hasil bilirubin berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian besar dari
hem bebas atau dari proes eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan
bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin
serta beberapa zat lain. Bilirubin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi
bilirubin bebas atau bilirubain IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi
larut dalam lemak karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan
mudah melalui membran biologis seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin
bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Dalam
hepar terjadi mekanisme ambilin, sehingga bilirubin terikat dengan oleh
reseptor membran sel hati dan masuk kedalam sel hati. Segera setelah ada dalam
sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligondin (protein-Y), protein-Z, dan glutation
hati lain yang membawanya ke retirulum endoplasma hati, tempat terjadinya
proses konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya enzim gukoromil
transferase yang kemudian menghasilakan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin
ini larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal.
Sebagian besar bilirubin yang berkonjugasi ini diekskresikan melalui duktus
hemotikus kedalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan
keluar dari tinja sebagai stertobilin. Dalam usus sebagian diabsorsi kembali
oleh mukosa usus dan terbentuklah proses enterohepatik..
Sebagian besar neonatus
mengalami peningkatan kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan.
Hal ini terjadi karena proses fisiologis tertentu pada neonatus. Proses
tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup
eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari), dan belum matangnya fungsi hepar.
Peningkatan kadar
bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian tersering adalah apabila
terjadi pertambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini
dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia,
memendeknya umur eritrosit bayi/janin, meningkatnya bilirubin dari sumber lain,
atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan pengambilan
bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal
ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan protein Y
dan protein Z terikat oleh amnion lain, misalkan pada bayi dengan asidosis atau
keadaan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang dapat memperlihatkan peningkatan
kadar biliruin adalah apabila ditemukan konjugasi hepar (defisiensi enzim
glukoronil transferasi) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya
penderita hepatitis normal neonatus atau sumbatan saluran empedu
ekstra/intrhepatik.
Komplikasi yang dapat
ditimbulkan akibat hiperbilirubinemia adalah terjadinya kernikterus.
2.2 Kernikterus
2.2.1
Definisi Kernikterus
Kernikterus adalah sindroma
neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya bilirubin indirek/tak terkonjugasi
dalam sel otak.
Kernikterus adalah ikterus berat disertai gumpalan bilirubin pada
ganglia basalis, kernikterus biasanya disertai naiknya kadar bilirubin indirek
dalam serum. Pada neonatus cukup bulan kadar bilirubin diatas 20 mg/ml sering
berkembang menjadi kernikterus, sedangkan pada bayi prematur bila melebihi 18
mg. Heperbilirubinemia dapat menimbulkan ansefalopati dan ini sangat berbahaya
bagi bayi. Untuk terjadinya kernikterus tergantung pada pola keadaan umum bayi,
bila bayi menderita hipoksia, asidosis, dan hipoglikemia.
2.2.2
Insidensi
Dengan
menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang
penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dL,
akan mengalami kernikterus. Insidensi pada otopsi bayi prematur dengan hiperbilirubinemia
adalah 2-16 %. Perkiraan frekuensi klinis tidak dapat dipercaya karena luasnya
spektrum manifestasi penyakit
Di Amerika Serikat, 8-10
% dari semua bayi sehat tetap dapat terjadi hiperbilirubinemia berat yang
selanjutnya mengalami kern ikterus.
Terdapat beberapa hal
yang dapat menyebabkan meningkatnya kasus kernikterus, yaitu:
-
Para orang tua tidak mengetahui tanda-tanda
ikterus sehingga mereka tidak segera menghubungi dokter.
-
Banyaknya bayi baru lahir yang segera
meninggalkan Rumah Sakit, padahal kadar bilirubin darah belum mencapai
puncaknya (48-72 jam setelah kelahiran), ditambah dengan tidak kontrol kembali
dalam jangka waktu satu minggu kemudian.
-
Dokter yang hanya mengandalkan penglihatan dalam
menilai derajat kuningnya kulit akibat ikterus yang mana rentan terhadap
kesalahan terutama pada kasus yang berat dan tidak adanya informasi kepada para
orang tua untuk memperhatikan kualitas kuningnya kulit pada bayi mereka.
-
Beberapa bayi baru lahir pulang dari Rumah Sakit
dalam kondisi pemeriksaan kadar bilirubin yang belum selesai.
2.2.3
Klasifikasi
Ø Stadium
1
Refleks
moro jelek, hipotoni, letargi, poor feeding, vomitus, high pitched
cry, kejang.
Ø Stadium 2
Opistotonus, panas, rigiditas, occulogyric
crises, mata cenderung deviasi ke atas.
Ø Stadium 3
Spastisitas menurun,
pada usia sekitar 1 minggu.
Ø Stadium 4
Gejala sisa lanjut; spastisitas, atetosis, tuli
parsial/komplit, retardasi mental, paralisis bola mata ke atas, displasia
mental.
2.2.4
Etiologi
Penyebab
kernikterus adalah dikarenakan kadar bilirubin yang sangat tinggi yang dapat
mencapai tingkat toksik sehingga merusak sel-sel otak.
Kadar bilirubin yang
tinggi merupakan kelanjutan dari ikterus neonatorum yang disebabkan oleh:
a)
Ikterus fisiologis:
-
Peningkatan jumlah bilirubin yang masuk ke dalam
sel hepar.
-
Defek pengambilan bilirubin plasma.
-
Defek konjugasi bilirubin.
-
Ekskresi bilirubin menurun.
b)
Ikterus
patologis:
-
Anemia hemolitik: isoimunisasi, defek eritrosit,
penyakit hemolitik bawaan, sekunder dari infeksi, dan mikroangiopati.
-
Ekstravasasi darah: hematoma, ptekie, perdarahan
paru, otak, retroperitoneal dan sefalhematom.
-
Polisitemia.
-
Sirkulasi enterohepatik berlebihan: obstruksi
usus, stenosis pilorus, ileus mekonium, ileus paralitik, dan penyakit
hirschprung.
-
Berkurangnya uptake bilirubin oleh hepar:
gangguan transportasi bilirubin, obstruksi aliran empedu.
2.2.5
Patogenesis
Patogenesis
kernikterus bersifat multi faktorial dan melibatkan interaksi antara kadar
bilirubin yang tidak terjonjugasi, ikatan albumin dan kadar bilirubin yang tak
terikat/bebas, menembusnya ke sawar darah otak, dan kerentanan neurologik
terhadap jejas. Permeabilitas sawar darah otak dapat dipengaruhi oleh penyakit,
asfiksia, dan maturasi otak.
Pada setiap bayi, nilai persis kadar
bilirubin yang dapat bereaksi indirek atau kadar bilirubin bebas dalam darah
yang kalau dilebihi akan bersifat toksik, tidak dapat diramalkan, tetapi kern
ikterus jarang terjadi pada bayi cukup bulan yang sehat dan pada bayi tanpa
adanya hemolisis, yaitu bila kadar serum berada di bawah 25 mg/dL. Pada bayi yang mendapat
ASI, kernikterus dapat terjadi bila kadar bilirubin melebihi 30 mg/dL, meskipun
batasannya luas yaitu antara 21-50 mg/dL. Onset terjadi dalam minggu pertama
kehidupan, tetapi dapat terjadi terlambat hingga minggu ke-2 bahkan minggu
ke-3. Lamanya waktu pemajanan yang diperlukan untuk menimbulkan pengaruh toksik
juga belum diketahui. Bayi yang kurang matur lebih rentan terhadap kernikterus.
Resiko
pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum
menjadi bertambah dengan adanya faktor-faktor yang mengurangi retensi bilirubin
dalam sirkulasi, yaitu hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya
pada albumin karena ikatan kompetitif obat-obatan seperti sulfisoksazol dan
moksalaktam, asidosis, kenaikan sekunder asam lemak bebas akibat hipoglikemia,
kelaparan, atau hipotermia) atau oleh beberapa faktor yang meningkatkan
permeabilitas sawar darah otak atau membran sel saraf terhadap bilirubin, atau
kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya seperti asfiksia, prematuritas,
hiperosmolalitas, dan infeksi.
Permukaan otak biasanya
berwarna kuning pucat. Pada pemotongan, daerah-daerah tertentu secara khas
berwarna kuning akibat bilirubin tak terkonjugasi, terutama pada korpus
subtalamikus, hipokampus dan daerah olfaktorius yang berdekatan, korpus
striata, talamus, globus palidus, putamen, klivus inferior, nukleus serebelum,
dan nukleus saraf kranial. Daerah yang tak berfigmen juga dapat cedera.
Hilangnya neuron, gliosis reaktif dan atrofi sistem serabut yang terlibat
ditemukan pada penyakit yang lebih lanjut. Pola jejas dihubungkan dengan
perkembangan sistem enzim oksidatif pada berbagai daerah otak dan
bertumpang-tindih dengan yang terdapat pada cedera otak hipoksik. Bukti yang
mendukung hipotesis bahwa bilirubin mengganggu penggunaan oksigen oleh jaringan
otak, mungkin dengan menimbulkan jejas pada membran sel; jejas hipoksia yang
telah terjadi sebelumnya meningkatkan kerentanan sel otak terhadap jejas.
Pewarnaan bilirubin yang jelas tanpa hiperbilirubinemia atau perubahan
mikroskopik yang spesifik kern ikterus mungkin tidak merupakan kesatuan yang
sama.
2.2.6
Kriteria Diagnosis
Secara umum, ditandai
dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian,
gangguan penglihatan, dan mental retardasi.
Tanda-tanda dan
gejala-gejala kernikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir pada bayi
cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur, tetapi
hiperbilirubinemia dapat menyebabkan sindroma setiap saat selama masa neonatus.
Tanda-tanda awal bisa tidak terlihat jelas dan tidak dapat dibedakan dengan
sepsis, asfiksia, hipoglikemia, pendarahan intrakranial dan penyakit sistemik akut
lainnya pada bayi neonatus. Lesu, nafsu makan jelek dan hilangnya refleks Moro
merupakan tanda-tanda awal yang lazim. Selanjutnya, bayi dapat tampak sangat
sakit, tidak berdaya disertai refleks tendo yang menjadi negatif dan kegawatan
pernapasan. Opistotonus, dengan fontanela yang mencembung, muka dan tungkai
berkedut, dan tangisan melengking bernada tinggi dapat menyertai. Pada kasus
yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan pada bayi dengan lengan yang
terekstensi dan berotasi ke dalam serta tangannya menggenggam. Rigaditas jarang
terjadi pada stadium lanjut.
Banyak bayi yang
kondisinya memburuk ke tanda-tanda neurologis berat ini meninggal; yang
bertahan hidup biasanya mengalami cedera berat tetapi agaknya dapat sembuh dan
2-3 bulan kemudian timbul beberapa kelainan. Selanjutnya, pada usia 1 tahun
opistotonus, rigiditas otot, gerakan yang tidak teratur dan konvulsi cenderung
kambuh. Pada tahun ke-2 opistotonus dan kejang mereda, tetapi gerakan-gerakan
yang tidak teratur dan tidak disadari, rigiditas otot atau pada beberapa bayi,
hipotonia bertambah secara teratur. Pada umur 3 tahun sering tampak sindrom
neurologis yang lengkap terdiri atas koreotetosis dengan spasme otot
involunter, tanda-tanda ekstrapira-midal, kejang defisiensi mental, wicara
disartrik, kehilangan pendengaran terhadap frekuensi tinggi, strabismus dan
gerakan mata ke atas tidak sempurna. Tanda-tanda piramidal, hipotonia, atau
ataksia terjadi beberapa bayi. Pada bayi yang terkenanya ringan sindrom ini
hanya dapat ditandai melalui inkoordonasi neoromuskular ringan sampai sedang,
ketilian parsial, atau “disfungsi otak minimal” yang terjadi sendiri atau
bersamaan, masalah ini mungkin tidak tampak sampai anak masuk sekolah
Tabel 1.
Kadar
bilirubin serum indirek maksimum yang disarankan pada bayi preterm.
Berat
Badan Lahir (gram)
|
Tidak
Ada Komplikasi
(g/dL)
|
Ada
Komplikasi*
(g/dL)
|
<>
1000-1250
1251-1499
1500-1999
2000-2500
|
12-13
12-14
14-16
16-20
20-22
|
10-12
10-12
12-14
15-17
18-20
|
*Komplikasi meliputi asfiksia perinatal,
asidosis, hipoksia, hipotermia, hipoalbuminemia, meningitis, PIV, hemolisis,
hipoglikemia, atau tanda-tanda kern ikterus.
Tabel 2.
Srategi
pengobatan terhadap hiperbilirubinemia indirek pada bayi cukup bulan
yang
sehat tanpa hemolisis.
Umur
(Jam)
|
Fototerapi
(g/dL)
|
Fototerapi
& Persiapan Transfusi Tukar*
(g/dL)
|
Transfusi
Tukar Jika Fototerapi Gagal
(g/dL)
|
<>
24-48
49-72
>
72
>
2 minggu
|
**
15-18
18-20
20
***
|
**
25
30
30
***
|
**
20
25
25
***
|
*
Jika bilirubin awal yang terpresentasi tinggi, fototerapi yang intensif harus
dimulai dan persiapan untuk transfusi tukar dilakukan. Jika fototerapi gagal
mengurangi kadar bilirubuin sampai ke kadar yang tercatat pada kolom sebelah
kanan, mulailah transfusi tukar.
**
Ikterus pada umur 24 jam tidak tampak pada bayi sehat.
***
Ikterus mendadak muncul pada umur 2 minggu atau berlanjut sesudah umur 2 minggu
dengan kadar hiperbilirubinemia yang berarti; untuk membenarkan pemberian
terapi maka harus diamati secara rinci, karena ikterus ini paling mungkin
disebabkan etiologi yang sudah ada seperti atresia biliaris, galaktosemia,
hipotyiroidisme, atau hepatitis neonatus.
2.2.7
Diagnosis Banding
Ø
Sepsis
Merupakan
sindroma klinis yang ditandai gejala sistemik dan disertai bakteriemia.
Kriteria
diagnosis meliputi gejala klinis berupa gangguan keadan umum (tampak tidak
sehat, tidak mau minum, suhu badan labil), saluran cerna, pernapasan,
kardiovaskuler, Susunan Saraf Pusat, hematologik dan kulit. Dari hasil
laboratorium didapatkan anemia, leukopenia, netropenia absolut, trombositopenia,
peningkatan Laju Endap Darah dan C- Reactive Protein.
Ø
Asfiksia
Merupakan
keadaan yang ditandai oleh gejala-gejala akibat hipoksia yang progresif,
akumulasi CO2, dan asidosis.
Ø
Hipoglikemia
Merupakan
keadaan yang terdapat pada bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah,
mempunyai kadar glukosa darah.
Kriteria
diagnosis ditandai dengan atau tanpa gejala; letargi/apati, tremor, apnea,
sianosis, kejang, koma, menangis lemah atau high pitched cry, poor
feeding.
2.2.8
Pemeriksaan Penunjang
-
Pemeriksaan
kadar bilirubin.
Bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan
yang masih akan timbul akibat toksisitas kadar bilirubin yang sangat tinggi. Pengukuran bilirubin
diindikasikan jika ikterus pada usia kurang dari 24 jam dan ikterus tampaknya
signifikan pada pemeriksaan klinis.
-
Pemeriksaan lebih lanjut selain bilirubin serum
total yang mungkin dibutuhkan (usia < 3 minggu):
a. Bilirubin direk
b. Hitung darah lengkap,
hitung retikulosit, dan apusan untuk morfologi darah tepi
c. Golongan darah dan tes
antibodi direk (direct antibody test, DAT
atau tes Coombs).
d. Konsentrasi G6PD (glucose-6-phosphate dehydrogenase)
e. Albumin serum
f. Urinalisis untuk
mengetahui zat pereduksi galaktosemia
-
Pemeriksaan fungsi otak: EEG
Bertujuan
untuk mengetahui sejauh mana kerusakan otak yang telah terjadi.
2.2.9
Pengobatan
1)
Fototerapi
Ikterus klinis dan
hiperbilirubinemia indirek akan berkurang kalau bayi dipaparkan pada sinar
dalam spectrum cahaya yang mempunyai intensitas tinggi. Bilirubin akan menyerap
cahaya secara maksimal dalam batas wilayah warna biru (panjang gelombang
425-475 nm). Bilirubin dalam kulit akan menyerap energy cahaya yang melalui
fotoisomerisasi mengubah bilirubin tak terkonjugasi yang bersifat toksik
menjadi isomer-isomer tak terkonjugasi yang dikeluarkan ke dalam empedu dan melalui
otosensitisasi yang melibatkan oksigen dan mengakibatkan reaksi oksidasi yang
menghasilkan produk-produk pemecahan yang akan diekskresi oleh hati dan ginjal
tanpa memerlukan konjugasi.
Indikasi fototerapi
hanya setelah dipastikan adanya hiperbilirubinemia patologik. Bayi normal, yang
mendapat fototerapi selama 1-3 hari akan memperlihatkan puncak konsentrasi
bilirubin serum sekitar setengah dari bayi yang tidak mendapatkan pengobatan.
2)
Transfusi
Tukar
Jika ada tanda-tanda kernikterus, transfusi
tukar merupakan indikasi. Jadi jika ada tanda-tanda kernikterus selama evaluasi
atau pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun, maka transfusi tukar darurat
harus dilakukan.
Pengobatan yang diterima
secara luas ini (transfusi tukar) harus diulangi sesering yang diperlukan untuk
mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam serum di bawah kadar yang tercatat
pada tabel. Ada berbagai faktor yang dapat mengubah kriteria ini ke arah yang
sebaliknya, namun bergantung pada individu penderita. Munculnya tanda-tanda
klinis yang memberi kesan kernikterus merupakan indikasi untuk melakukan
transfusi tukar pada kadar bilirubin serum berapapun. Bayi cukup bulan yang
sehat dengan ikterus fisiologis atau akibat ASI, dapat mentoleransi kadar
bilirubin sedikit lebih tinggi dari 25 mg/dL tanpa tampak sakit, sedangkan bayi
prematur yang sakit dapat mengalami ikterus pada kadar bilirubin yang sangat
rendah. Kadar yang mendekati perkiraan kritis pada setiap bayi dapat merupakan
indikasi untuk transfusi tukar semasa usia 1 atau 2 hari ketika kenaikan yang
lebih lanjut diantisipasi, tetapi bukan pada hari ke-4 pada bayi cukup bulan
atau pada hari ke-7 pada bayi prematur, ketika penurunan yang terjadi segera
bisa diantisipasi saat mekanisme konjugasi hati menjadi lebih efektif.
Teknik transfusi tukar:
Bayi ditempatkan di meja resusitasi yang
dihangatkan, anggota badan pada posisi istirahat.
Kerjakan melalui vena umbilikalis/vena sefana
magna.
Gunakan darah segar dari donor darah (<>
Darah yang digunakan yaitu darah citrat atau
mengandung heparin.
Transfusi ganti diberikan biasanya 2 x volume
darah bayi (80 ml/kg BB), yaitu 160 ml/kg B (diharapkan dapat menggantikan
darah bayi 87 %). Setiap kali menukar/mengambildan memasukkan darah sebesar
10-20 ml (tergantung toleransi bayi.
Bayi sakit atasi dulu penyakitnya (misalnya:
asfiksia dan hipoglikemia)
Bayi-bayi yang disertai anemia (HT<35
style="">partial exchange dengan PRC (25-80 ml/kg BB) sampai HT
naik menjadi 40 %. Bila keadan sudah stabil, lakukan transfusi untuk
mengatasi hiperbilirubinemia.
Jika mungkin albumin miskin garam diberikan 1-2
jam sebelum transfusi ganti sebanyak 1 g/kg BB.
Pembantu mencatat volume darah yang ditukar,
mengobservasi tanda vital bayi dan bisa melakukan resusitasi.
Sebelum transfusi ganti, ukur tekanan vena.
Donor darah harus dihangatkan pada suhu 27-37oC.
Setiap 100 ml darah dikocok.
Alat steril.
Darah segar dipasang dengan infus set.
Selanjutnya dihubungkan dengan jarum suntik dan kateter v.umbilikalis.
Minimalisir efek samping dan tiap tahapan
berlangsung 3-5 menit.
Jika kateter gagal dipasang di v. Umbilikalis,
bisa dilakukan di v. Safena magna.
Kateter jangan terbuka terhadap udara.
Dengan jarum suntik, keluarkan darah bayi 20 ml
untuk pemeriksaan laboratorium pratransfusi; Hb, urea N, elektrolit, kalsium,
gula, SGOT,SGPT, osmolaritas, analisa gas darah, dan kultur.
Masukkan darah segar 20 ml perlahan, dilakukan
sampai selesai.
Untuk darah citrat, setiap 100ml darah ganti
diberi 1 ml kalsium glukonas 10%.
Setelah transfusi selesai, ambil darh bayi
untuk pemeriksaan pasca transfusi.
Bayi harus puasa, bila tanda vital stabil boleh
diberi minum.
Transfusi dihentikan bila; emboli, hiperkalemia, hipernatremia,
hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia, gangguan pembekuan, dan perforasi
pembuluh darah.
Komplikasi transfusi tukar; gangguan vaskular, kelainan jantung, gangguan
elektrolit, koagulasi, infeksi, hipotermia, dan hipoglikemia.
3) Fisioterapi
Untuk bayi yang sudah
mengalami cacat akibat kadar bilirubin terlalu tinggi, pengobatan diarahkan
pada fisioterapi untuk memperbaiki kekakuan otot dan gerakan serta stimulasi
untuk mengoptimalkan fungsi intelek (kognitif). Dengan cara ini diharapkan
kemampuan si anak sebisanya mendekati normal.
2.2.10 Prognosis
Tanda-tanda
neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 74 % atau lebih
bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80 % yang bertahan hidup menderita
koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental,
ketulian, dan kuadriplegia spastis lazim terjadi. Bayi yang beresiko harus
menjalani skrining pendengaran.
2.2.11 Pencegahan
·
Segera menurunkan kadar bilirubin indirek.
·
Penanganan bayi ikterus; fototerapi, fisioterapi,
transfusi tukar.
Bayi dengan kadar
bilirubin tinggi diobati dengan menggunakan fototerapi, bahkan dengan transfusi
tukar. Kini terdapat obat baru yaitu Stanate yang dalam ujicoba terbukti
dapat memblokade produksi bilirubin sehingga dapat mencegah kernikterus, hingga
sekarang obat ini masih terus dikembangkan.
Tanpa memandang
etiologi, tujuan terapi adalah mencegah kadar yang memungkinkan terjadinya
neurotoksikosis, dianjurkan agar fototerapi, dan jika tidak berhasil, transfusi
tukar dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dalam serum
di bawah kadar yang ditunjukkan pada tabel 1 (untuk preterm) dan tabel 2 (untuk
bayi cukup bulan). Pada setiap bayi, resiko jejas bilirubin
terhadap sistem saraf pusat harus dipertimbangkan dengan resiko yang
ditimbulkan oleh pengobatan. Belum ada persetujuan yang umum mengenai kriteria
untuk memulai fototerapi. Karena fototerapi mungkin memerlukan 6-12 jam untuk
mempunyai pengaruh yang dapat diukur, maka fototerapi ini harus dimulai saat
kadar bilirubun masih berada di bawah kadar yang diindikasi untuk transfusi
darah. Bila teridentifikasi, penyebab dasar dasar ikterus harus diobati,
misalnya antibiotik untuk septikemia. Faktor-faktor fisiologis yag menambah
resiko cedera neurologis harus diobati juga (misalnya koreksi terhadap
asidosis).
Fototerapi
biasanya dimulai pada 50-70 % dari kadar maksimum bilirubin indirek. Jika nilai
sangat melebihi kadar ini, jika fototerapi tidak berhasil mengurangi kadar
bilirubin maksimum, atau jika ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar
merupakan indikasi. Jadi jika ada tanda-tanda kern ikterus selama evaluasi atau
pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun, maka transfusi tukar darurat harus
dilakukan.
·
Melakukan pemeriksaan kadar bilirubin pada semua
bayi baru lahir sebelum meninggalkan Rumah Sakit.
·
Kontrol bayi baru lahir ke dokter dalam jangka
waktu 24-48 jam setelah meninggalkan Rumah Sakit.
·
Meningkatkan pengetahuan orang tua tentang
ikterus.
2.3 Asuhan Kebidanan yang Dilakukan
2.3.1
Rencana Asuhan yang dapat diberikan oleh Bidan
a.
Pemberitahuan kepada keluarga tetang kondisi bayi.
b.
Berikan obat oral yang telah di instruksikan oleh
dokter dengan prinsip 5 B, benar obat, benar dosis, benar pasien, benar cara
pemberian, benar waktu pemberian.
c.
Jemur bayi tiap pagi di bawah sinar matahari dengan
menutup mata dan genital bayi memakai kertas karbon yang dilapisi kain kassa,
dan sinar ultraviolet dapat merata keseluruh tubuh.
d.
Berikan ibu penjelasan pentingnya pemberian minum
secara adekuat dan berikan ASI saja dan bantu ibu saat memberi ASI.
e.
Jika bayi dilakukan fototerapi, posisi bayi selalu
dirubah untuk mencegah dicubitus dan sinar ultraviolet dapat merata keseluruh
tubuh.
f.
Awasi efek samping dari pemberian fototherapi yaitu
buang air besar lebih sering dan encer sehingga cegah bayi jangan sampai
dehidrasi.
g.
Awasi kemungkinan kulit bayi mengalami perubahan
kulit yang berlebihan, laporkan kepada dokter jika hal ini terjadi. (Rukiyah, et.al, 2010: 268)
2.3.2
Penatalaksanaan yang dilakukan oleh Bidan
a.
Ikterus
fisiologis
ü Mengajari
ibu cara menyinari bayi dengan cahaya matahari pagi biasanya sekitar jam 7 pagi
sampai jam 8 pagi selama 15-30 menit
ü Lakukan
asuhan dasar pada bayi
-
Beri minum bayi sesuai kebutuhan dan kalori
yang cukup
-
Perhatikan frekuensi BAB
-
Usahakan agar bayi tidak terlalu kepanasan
atau kedinginan
-
Memeliahara kebersihan tempat tidur bayi dan
lingkungannya
-
Mencegah terjadinya infeksi
-
Jika bayi dapat menghisap, anjurkan ibu untuk menyusui secara dini dan ASI eklusif lebih sering minimal setiap 2 jam
-
Jika bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI
melalui pipa nasogastrik atau dengan gelas dan sendok
-
Jaga bayi agar tetap hangat
-
Ikterus fisisologis tidak memerlukan
penanganan khusus dan dapat dirawat jalan dengan nasehat untuk kunjungan ulang
setelah tujuh hari. Jika bayi tetap kuning selama 7 hari maka:
§ Lakukan
penilaian lengkap
§ Lakukan
pemeriksaan ulang untuk ikterus tanyakan apakah kencing sehari semalam atau
apakah sering buang air besar
§ Tindakan
Jika
setelah 7 hari masih terdapat ikterus yang fisiologis, tindakan yang dilakukan adalah:
o
Apabila disertai kencing 6 kali sehari
semalam atau BAB sering ajari ibu cara menyinari bayi dan kunjungan ulang
setelah 14 hari
o
Apabila disertai kencing 6 kali sehari
semalan dan BAB kurang lakukan penilaian ulang pemberian ASI.
-
Jika kuning menghilang, pujilah ibu.
b.
Ikterus
patologis
ü Cegah
agar gula darah tidak turun
ü Jika
bayi masih bisa menetek mintalah pada ibu untuk menetekkan bayinya
ü Jika
bayi tidak bisa menetek lagi tapi masih bisa menelan, beri perasan ASI atau
susu pengganti, jika keduanya tidak memungkinkan beri air gula
30-50 cc sebelum dirujuk
ü Cara membuat air gula. Larutkan 4 sendok
teh gula kedalam gelas yang berisi 200 cc air masak
ü Jika
bayi tidak bisa menelan berikan 50 cc air susu atau air gula melalui pipa nasogastrik,
jika tidak rujuk segera
ü Nasehati
ibu agar menjaga bayi tetap hangat
ü Sertakan
contoh darah ibu jika kuning terjadi pada 2 hari pertama kehidupan
ü Rujuk
segera.
ü Setiap
ikterik yang muncul pada 24 jam pertama adalah patologis dan membutuhkan
pemeriksaan laboratorium lanjut
ü Pada
bayi dengan ikterus kramer grade 3 atau lebih perlu dirujuk
ü Beri
terapi sinar untuk bayi yang dirawat di RS dan jemur bayi dibawah sinar matahari
pagi pada jam 7-8 selama 30 menit (15 menit telentang dan 15 menit telungkup)
ü Cegah
kontak dengan keluarga yang sakit dan cegah terjadiny infeksi
2.3.3
Langkah Promotif dan Preventif
-
Menghindari penggunaan obat-obatan pada ibu hamil yang berakibat
menimbulkan ikterus (sulfa, antimalaria, nitrofurantio, aspirin, novobiosin oksitosin)
-
Penanganan keadaan yang berakibat BBLR
-
Penanganan infeksi maternal, KPD secara tepat dan cepat
-
Pemenuhan kebutuhan nutrisi bayi baru lahir
dengan ASI eksklusif
-
Menjelaskan pada ibu tentang gejala-gejala
ikterus yang muncul
Upaya
promotif, preventif dan penataklaksanaan yang dilakukan
bidan sangat penting untuk mendeteksi dini terjadinya hiperbilirubinemia dan
mencegah agar tidak terjadinya kernikterus apabila bayi mengalami
hiperbilirubinemia.
|
TINJAUAN KASUS
Tanggal : 29 November 2013
pukul 08.30
Tempat : Puskesmas X
Data Subjektif
A.
Identitas
Nama bayi : Bayi Ny.L
Umur Bayi : 7 hari
Tgl/jam lahir : 22 November 2013
pkl 14.30 WIB
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama Ibu : Ny. L Nama Ayah : Tn. A
Umur : 27 tahun Umur : 26 tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMP Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pekerjaan : Buruh
B.
Anamnesa
1.
Keluhan
utama:
Ibu datang ke puskesmas pada tanggal 29 November 2013 pukul 08.30 WIB. Ibu mengaku bayinya kuning sejak 4 hari
yang lalu (tanggal 25 November 2013), lemah, tidak mau menetek, kejang dan
muntah 1 kali pagi ini.
2.
Riwayat kehamilan
(prenatal):
Ibu mengatakan bahwa ini
adalah anak yang pertama dari kehamilannya yang pertama. HPHT
tanggal 3 Maret 2013. TP tanggal 10 Desember 2013. Tidak ada
riwayat penyakit dalam kehamilan. Pada waktu hamil, ibu biasa makan 3x sehari,
porsi sedang, menunya adalah nasi, tahu, tempe, ikan, dan sayur, minum 6 – 8
gelas per hari (air putih dan teh), tidak pernah merokok, dan tidak pernah
minum jamu-jamuan.
3.
Riwayat
persalinan sekarang (intranatal):
Dari pengakuan ibu, ibu melahirkan
tanggal 22 November pukul 14.30 WIB, dengan persalinan spontan pervaginam di
praktik bidan di tolong oleh bidan. Keadaan bayi baru lahir bayi langsung
menangis, BB 2800 gram, PB 47 cm, jenis kelamin laki-laki.
4.
Kebiasaan saat nifas:
|
5.
Riwayat menyusui:
bayi sulit untuk menyusu, ASI kurang lancar.
Data Objektif
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda
vital : Suhu : 37oC, Pernafasan : 48x /
menit ,
Nadi : 125 x / menit
Berat badan lahir : 2800
gram
Berat badan sekarang : 3000 gram
Pemeriksaan fisik secara
klinis :
1.
Kepala : UUK datar, tidak ada moulase,
tidak ada Caput Suksadaneum
· Muka : simetris, warna kuning
· Mata : simetris, sklera kuning, konjungtiva agak pucat,
tidak
ada strabismus.
· Hidung : ada septum, tidak ada polip
· Mulut : simetris, tidak ada labioschizis,
tidak ada palatoschizis, tidak ada labiopalatoscizis, tidak ada sianosis
· Leher : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid, warna
kulit leher kuning.
2.
Dada : simetris, puting susu simetris, tidak ada retraksi
dada.
3.
Tali Pusat dan Abdomen : tali pusat
sudah puput dan bersih
4.
Punggung : tidak
ada spina bifida, dan terlihat kuning.
5.
Genital : testis sudah masuk kedalam skrotum, ada
lubang penis terletak di
sentralis.
6.
Anus : terdapat lubang anus.
7.
Ekstremitas :
a. bagian atas : simetris, jumlah jari
tangan lengkap, pada tangan dan jari tidak ada sianosis, kuku
dan lengan berwarna kuning.
b. bagian bawah : simetris, jumlah jari kaki lengkap, pada kaki
tidak ada sianosis, kuku dan kaki berwarna kuning.
8.
Warna kulit : tidak ada bercak dan tanda lahir, warna kulit keseluruhan
kuning ( Derajat kramer 5)
9.
Reflex:
Tidak ada refleks moro, tidak
ada rooting refleks, tidak
ada reflex,
tidak ada palmar graps, tidak
ada refleks tonickneck.
10. Eliminasi :
BAK : Frekuensi : 4 - 6 x per
hari, warna kuning kecokelatan
BAB : Frekuensi : 1
x per hari, warna putih keabu-abuan, konsistensi lunak.
11. Data Penunjang : Saat ini belum dilakukan
Gol. Darah ibu : O/+ diketahui pada saat
kehamilan
Analisa
Neonatus
Cukup Bulan Sesuai Masa Kehamilan usia 7 hari dengan suspect kernikterus.
Penatalaksanaan
1)
Menyampaikan pada ibu dan suami tentang hasil
pemeriksaan bahwa bayinya diduga mengalami ikterus
patologis.
Ibu dan suami mengerti
dengan penjelasan yang diberikan
2)
Memberikan dukungan emosional kepada ibu dan
suami agar tetap tenang.
Ibu
dan suami terlihat lebih tenang.
3)
Memberitahukan Ibu dan Suami bahwa bayinya harus
dirujuk ke rumah sakit untuk mendapat pemeriksaan yang
lebih lengkap dan optimal.
Ibu
dan suaminya
menyetujui bayi dirujuk dan memilih di rujuk ke RSUD
Dr. Soetomo.
4)
Membuat
surat rujukan dan merujuk bayi ke RSUD Dr. Soetomo didampingi oleh orangtua
bayi tersebut.
Surat
Rujukan sudah dibuat dan bayi sudah dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo.
5)
Mendokumentasikan
tindakan.
Tindakan
sudah terdokumentasi dengan lengkap dan rapi.
BAB
IV
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Ikterus
adalah warna kulit dan membran mukosa berwarna kuning karena kadar bilirubin
lebih dari 5 mg/ml, yang timbul pada hari kedua dan ketiga, sampai hari
kesepuluh dengan tidak ada tanda-tanda patologis. Komplikasi yang dapat
ditimbulkan akibat hiperbilirubinemia adalah terjadinya kernikterus.
Kernikterus
merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang diakibatkan oleh tingginya kadar
bulirubin sehingga bersifat toksik terhadap otak, ditandai dengan athetoid
cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan,
dan mental retardasi.
Kernikterus
timbul terutama pada bayi-bayi ikterus yang tidak ditangani dengan baik.
Penanganan ikterus harus mengikutsertakan semua aspek secara menyeluruh, mulai
dari peran orang tua, tenaga medis, maupun sarana kesehatan dalam rangka
mencegah timbulnya kernikterus serta rehabilitasi pasca kernikterus.
3.2
Saran
Adapun
saran yang dapat penulis sampaikan:
1)
Bagi
ibu yang bayinya terkena ikterus agar tetap dapat memberikan ASI dan minuman
yang cukup untuk bayi sehingga dapat menurunkan kadar ikterus dan membantu
mempercepat penyembuhan
2)
Diharapkan
bagi Bidan jika menemukan kasus ikterus
neonatorum untuk dapat melakukan pemeriksaan secara seksama dan mampu
mengidentifikasi dan memberiakan pertolongan pertama pada bayi ikterik dan
merujuk kasus tersebut ke tingkat
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
____. 2010. Kern Icterus. (http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/kern-icterus.html, diakses tanggal 26 November 2013)
_____. 2012. Manajemen Asuhan Kebidananan pada Bayi Baru Lahir pada Bayi Ny. “D” di Instalasi Rawat Inap Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang. (http://kumpulanaskeb.com/kti/manajemen-asuhan-kebidanan-pada-bayi-baru-lahir-pada-bayi-ny-d-dengan-ikterik-grade-iv-selanjutnya-klik-disini-beri-beri-com-askeb-bblr-dengan-ikterik-grade-iv-dapatkan-kti-skri-76406/, diakses tanggal 26 November 2013)
Behrman, et al. 2003. Nelson Textbook of Pediatrics 17th Edition.
Pennsylvania: Saunders
Delyana. 2013. Asuhan Kebidanan pada Bayi Baru Lahir Mengalami Ikterus di Kamar Bayi RSU Anutapura Palu. (http://delyanakumaat8.blogspot.com/2013/02/proposal-konsultasi-pertama-asuhan.html, diakses tanggal 26 November 2013)
Haws, Paulette S. 2007. Asuhan Neonatus
Rujukan Cepat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Herry,
Garna dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak Edisi Kedua. Bandung: Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS.
Lissauer dan Fanaroff. 2009. At a Glance Neonatologi. Jakarta:
Penerbit Erlangga
Ningsih, Sri. 2012. Pengertian Ikterus. (http://semirang.blogspot.com/2012/10/pengertian-ikterus.html, diakses tanggal 26 November 2013)
Sukadi, Abdurachman dkk. 2002. Ikterus Neonatorum Perinatologi. Bandung: Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS.
Varney, Helen. 2007. Buku Ajar Asuhan
Kebidanan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar